radarlamsel.com-Banyak politikus yang terjebak dengan strategi politik uang untuk menarik simpati para pemilih. Dengan cara memberikan politik uang, seorang politikus atau tokoh menganggap dapat menentukan suaranya dalam pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Padahal, cara tersebut masuk dalam tindak pidana pemilu.
Konsultan politik, Soeyanto, mengatakan ini tugas semua orang untuk memperkuat keyakinan bahwa money politics bukan satu-satunya jaminan untuk menang. Masyarakat juga harus Diitum buhkan untuk bersikap kritis. Kemudian, masyarakat juga harus lebih fokus untuk mencari figur yang pantas dan punya kapasitas.
”Nah sejauh ini kan figur-figur itu tidak terlalu diperiksa (oleh masyarakat). Hanya karena misal-nya dia mantan anggota dewan, dia anaknya gubernur, atau semacam itu. Tapi komitmennya kinerjanya itu belum terlalu dipe-riksa oleh masyarakat,” kata Koordinator Tim Citra Indonesia ini kepada wartawan dalam diskusi akhir tahun tentang pemiluda di Lampung. Pria kelahiran Tanjungkarang tahun 1970 ini menjelaskan, tokoh juga terjebak dengan dukungan par tai politik (parpol). Sebab dalam pengalamannya sebagai konsultan pemenangan pemilihan langsung, dia kerap menemukan adanya politik transaksional antara calon dan parpol. Parpol hanya berperan dalam pendaftaran calon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
”Jadi mereka (parpol) juga di ting galin. Transaksi saja sekarang ini. Parpol sudah apatis de ngan komitmen kandidat. Maka nya mereka transaksi saja. Jadi misalnya transaksi dapat berapa, itulah angka yang mereka akan kelola untuk mengelola partai politik mereka. Masalah nanti bagaimana konstelasinya, itu bergantung hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif,” ujar lulusan Komunikasi Politik di The University of Melbourne, Australia.
Dalam pilkada serentak 9 Desem ber lalu, dia menyoroti Kota Metro yang dimenangkan oleh calon dari jalur perseorangan. Menurut dia, ini menjadi bukti bahwa politik uang atau transaksi politik dengan partai politik tidak terjadi dalam Pilkada Metro. Namun demikian, pasti ada kekhawtiran secara politik pada saat wali kota menjalankan pemerintahannya kelak. ”Jadi dia tetap membutuhkan dukungan partai politik. Sehingga label independen dan tidak independen itu kan cuma label formal. Tapi dalam label praktek, yang namanya mekanisme politik dari parpol, hubungan eksekutif- legislatif, tetap ada,” kata Soeyanto yang pernah bekerja sebagai Asisten Staf Khusus Presiden.
Soeyanto juga menyinggung Pilkada Lampung Tengah 2020 yang berakhir dengan gugatan du gaan politik uang. Menurut dia, orang bisa saja berbicara ten tang politik uang dan lainnya. Tapi perlu juga dicek bahwa yang menang adalah figur yang sudah mempunyai investasi lama di Lampung Tengah.
”Jadi jangan mengatakan, oh dia didukung oleh donatur besar. Sehingga itulah yang membuat dia menang. Mungkin benar. Tapi jangan dilihat satu variabel itu,” ucap dia. Soeyanto pun telah melakukan pengamatan di Lampung Tengah dan mendapat informasi bahwa pemenangnya adalah mereka yang sudah punya investasi lama di Lampung Tengah.
Begitu pula dengan Pilkada Bandarlampung. Apa yang sudah dilakukan Eva Dwiana sejak sekitar delapan tahun merupakan investasi. Eva punya nilai sehingga tidak perlu melakukan politik uang. Dengan investasi tersebut, calon ibarat pohon beringin. Yang batangnya tidak bisa digergaji atau dipatahkan batangnya. Harus punya angin puting beliung untuk menumbangkannya. ”Itu butuh kekuatan yang serius dan luar biasa. Nggak bisa main-main. Kalau saya punya standar delapan bulan untuk bekerja, mungkin saya perlu tambahan sepuluh sampai sebelas bulan. Karena saya harus baca betul-betul kekuatan dan kelemahannya. Dan harus diuji berkali-kali dulu sebelum saya masuk di medan tempur,” ucapnya. (dna)