Melawan Tumpukan Sampah Puluhan Tahun dan Kesan Angker
Rabu 22-02-2017,09:09 WIB
Reporter : Redaksi
Editor : Redaksi
Lebih Dekat dengan Pantai Kedu dan Pokdarwis Pantai Kedu
Puluhan tahun warga Sinarlaut membiarkan Pantai Kedu kotor karena tumpukan sampah. Tetapi kini mereka melawan kotor dengan mengotori tangan untuk membersihkannya. Tak hanya kotor, mereka juga melawan pantai yang dulu dikenal angker menjadi sebuah anugerah sang Khalik.
Laporan EDWIN APRIANDI, KALIANDA
AROMA khas laut begitu semerbak menyerang hidung siapapun yang melintasi jalan lingkungan Sinarlaut, Kelurahan Wayurang, Kecamatan Kalianda, Selasa (21/2) kemarin.
Semakin ke bibir pantai aroma itu semakin menyerang. Dahulu aroma itu nyaris hilang lantaran kalah dengan bau sampah yang dihempas angin. Dibibir pantai, deburan ombak yang bersautan menjadi ritme musik yang disajikan alam bagi siapa saja yang datang.
Disisi lain pria paruh baya nampak asik memunguti ceceran sampah bekas pembuatan gubuk. Dia nampak serius mengumpulkan satu persatu sampah yang tercecer. Saking seriusnya rintikan hujan dia acuhkan.
Dibagian lainnya sekelompok warga giat membuat pagar. Bahu membahu bergotong royong untuk membuat lokasi parkir kendaraan bagi setiap warga yang datang ke lokasi. Ada pula yang asik mewarnai ukiran huruf yang dibuat dari potongan kayu. Ukiran itu rencananya akan dipasang dipintu masuk Pantai Kedu.
“Beginilah aktifitas kami sehari-harinya. Kalau lepas bekerja kita ke pantai untuk melakukan apapun yang bisa dilakukan,” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pantai Kedu Ibrahim Husein kepada Radar Lamsel kemarin.
Sudah sebulan ini Pokdarwis ini beraksi. Sejak pengangkutan sampah yang menggunung dilokasi itu mereka tak pernah berhenti. Ada saja yang dikerjakan setiap hari. “Awalnya memang membersihkan sampah. Makin kesini kerjaan semakin banyak,” ungkap dia sambil tersenyum.
Saat ini mereka sedang membangun gubukan dan tempat pembuangan air kecil. Bangunan sederhana itu diharapkan bisa menjadi fasilitas yang dapat menunjang wisatawan yang datang ke lokasi. “Sementara ini kita buat ala kadarnya tapi tidak menghilangkan fungsinya sebagai tempat membuang air kecil,” ungkap Kepala Lingkungan Sinarlaut ini.
Ibrahim sadar betul fasilitas itu harus disiapkan. Sebab jika tidak banyak orang yang akan kesulitan untuk membuang air kecil disana. “Nggak bisa lagi sekarang ini sembarangan. WC sekebon yang biasa digunakan masyarakat sudah nggak jaman,” ungkap dia sambil tertawa.
Nama Pantai Kedu Sinarlaut saat ini memang tengah nge-hits dimedia sosial. Warga Kota Kalianda bahkan membanjiri timeline media sosial facebook dengan unggahan foto yang berlatarbelakang pantai ini. Frame alam yang ada Pantai Kedu Sinarlaut memang menjadikan lokasi ini sebagai daya tarik.
Disebelah selatan, pantai ini menyuguhkan keindahan dan kebesaran Gunung Rajabasa yang mendulang tinggi. Lalu disebelah utara ada danau kecil lalu perbukitan. Belum lagi ditambah frame alam buatan pemuda pegiat wisata yang bertuliskan Pantai Kedu Sinarlaut.
Lokasi pantai ini memang sangat refresentatif. Jaraknya bisa ditembuh dengan waktu 5 menit dari pusat Kota Kalianda atau pusat pemerintahan Pemkab Lampung Selatan.
Masyarakat Kalianda sebenarnya sudah mengenal dekat pantai ini. Kesan angker itulah yang mereka kenal dahulu. Tetapi kini Pantai Kedu sudah menjelma menjadi destinasi wisata alternatif yang ada di Bumi Khagom Mufakat. Terlebih akses yang mudah dengan tanpa biaya membuat masyarakat melawan kesan angker tersebut.
Ibrahim Husein sendiri tak berkilah bahwa masyarakat dahulu menilai bahwa pantai tersebut memiliki kesan angker. Menurut dia nama Pantai Kedu itu memang sudah ada sejak Gunung Krakatau meletus pada 1883. Kedu dalam pengertian masyarakat adalah pantai terkesan angker.
“Itukan dulu. Kesan angker itu ada kalau tidak dikelola. Sepanjang masyarakat melibatkan diri, apalagi diera sekarang ini, ya sudah tidak ada lagi,” ungkap dia.
Menurut Ibrahim, dahulu masyarakat memang tak memungsikan pantai tersebut. Masyarakat saat itu masih berkutat pada mengelola perkebunan kelapa yang bisa menghidupi kehidupan. Lokasi pantai itu bahkan merupakan kebun kelapa yang juga menjadi padang savana bagi ternak kerbau. “Sungai ini tempat bermain ribuan kerbau kala itu,” ungkap Ibrahim.
Pria yang lahir pada 1948 ini juga menyebutkan, awalnya rencana pemanfaatan Pantai Kedu adalah karena kekesalan warga terhadap tumpukan sampah dilokasi itu. Padahal ia mengklaim sampah tersebut bukan merupakan tempat pembuangan sampah masyarakat dilingkungannya. “Warga yang membuang sampah lebih galak dari kita. Karena kita orang kecil,” ungkap dia.
Terkait gerakan bersih sampah ini dia mengapresiasi dukungan penuh dari Pemkab dan Pemerintah Kecamatan Kalianda dan Kelurahan Wayurang.
Sebab, kata dia, jika tak mendapatkan dukungan penuh ia beserta warga setempat tidak akan mampu mengangkat sampah yang jumlahnya mencapai 50 ton lebih. “Kalau tidak pakai alat berat saya juga tidak tahu bagaimana cara membersihkan sampah ini. Sudah beberapa kali ganti rezim pemerintahan tak pernah tuntas,” ungkap dia.
Kini ia dan masyarakat setempat bertekad merubah image pantai yang memiliki kesan angker menjadi tempat yang menyenangkan masyarakat. Termasuk image bahwa pantai Kalianda adalah tempat dimana muda-mudi melanggar norma-norma kehidupan bermasyarakat.
“Kami ingin membuang stigma negatif mengenai semua itu. Apapun bentuknya pantai ini adalah anugerah yang diberikan sang Khalik kepada manusia. Tinggal kita kelola untuk kemaslahatan bersama,” pungkas dia. (*)
Tags :
Kategori :