Suara Guru Honorer Pada Peringatan Hardiknas

Suara Guru Honorer Pada Peringatan Hardiknas

KALIANDA – Peringatan Hari Buruh 1 Mei kemarin, dan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2019 yang jatuh pada hari ini tak terasa istimewa. Meski berbicara buruh dan pendidikan, nyatanya dua momen yang saling berdekatan itu tak memberi harapan apa pun terhadap guru honorer di Kabupaten Lampung Selatan.           Di mana, tenaga dan pikiran guru yang diberikan untuk mencerdaskan anak bangsa tak sebanding dengan kehidupan serta kesejahteraannya. Hal ini jauh terbalik jika bandingkan dengan para buruh yang sesungguhnya. Itulah yang dikatakan oleh Ketua Forum Honorer Kategori 2 Indonesia, Setiawan, S.Pd kepada Radar Lamsel, Rabu (1/5) kemarin. “Secara pribadi, saya tak bermaksud menyerang siapa pun. Tetapi lihat kepada faktanya. Sekarang banyak buruh pabrik yang berijazah minimal SMP, tetapi kehidupan serta kesejahteraan mereka layak,” katanya. Selain itu, ada keuntungan lain yang didapatkan oleh seorang buruh. Yaitu jaminan, yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Setiawan mengatakan hal itu berbanding terbalik dengan keadaan malang yang dialami guru honorer. “Kesejahteraan kami hanya diandalkan melalui dana bantuan operasional sekolah (BOS), yang sudah klop di angka 15 persen. Apakah ini bentuk keadilan bagi kami,” katanya. Di antara dua momen ini, Setiawan mengatakan FHK2I atau pun honorer lainnya sangat berharap kepada Pemkab Lamsel di bawah kepemimpinan Nanang Ermanto, agar mendapat perhatian lebih. Setiawan meyakini di bawah kepemimpinan Nanang Ermanto, kesejahteraan guru honorer khususnya yang berkerja di instansi pemerintah bisa mendapat perhatian. PGRI Kabupaten Lampung Selatan pun ikut mendukung seruan dari FHK2I. Tak hanya itu, PGRI Lamsel juga mendukung suara-suara dan keluhan dari guru-guru honorer. Untuk mensejahterakan guru honorer, PGRI Lamsel berharap pemerintah memberikan perhatian. Ketua PGRI Lamsel, M. Yamin Daud, S.Pd mengatakan sudah saatnya guru honor diberi insentif dari Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD). Inisiatif ini dilakukan agar bisa menambah penghasilan guru honor yang selama ini dinilai sangat tidak memadai. “Intinya, saya ikut berharap pemerintah bisa memberi insentif yang dianggarkan dari APBD. Kalau hanya mengandalkan dari dana BOS, tentu sangat tidak memadai,” katanya. Salah seorang guru honorer, Elita, juga ikut bersuara. Secara terang-terangan, Elita tak mengaku keberatan jika seorang guru harus mengajar anak-anak dengan jam belajar yang panjang. Tetapi, Ia berharap hal itu juga harus diiringi dengan pengertian sebagai bentuk apresiasi dari tugas mereka sebagai tenaga pendidik. Elita mengakui tak mudah bagi pemerintah untuk memberikan insentif kepada guru honorer yang berjumlah banyak. Namun, ada cara lain agar guru honorer tak terlalu mengeluh dengan upah mereka yang terlalu kecil. Caranya dengan menggaji guru honorer secara rutin setiap bulan. “Terlepas dari apa pun itu, saya bangga menjadi seorang guru. Kenapa, karena guru berperan penting dalam membimbing, dan mencerdaskan anak-anak masa depan bangsa ini. Kalau memang pemerintah berniat memberi insentif, tentu kami akan sangat senang sekali. Tapi saya tahu, itu tak mudah. Paling tidak, berilah kami sedikit nafas dengan gajian tiap bulan. Itu saja,” katanya. (rnd)

Sumber: