Budaya Birokrasi Ewuh Pakewuh, Masihkah Relevan?

Budaya Birokrasi Ewuh Pakewuh, Masihkah Relevan?

Entah sudah berapa ratus kali kita mendengar istilah Reformasi Birokrasi dalam pidato-pidato resmi pemerintahan baik ditingkat pusat sampai dengan tingkat daerah disampaikan dengan nada berapi-api nan optimistis. sangking seringnya kita dengar lama kelamaan narasi-narasi semacam itu jauh lebih terdengar seperti khutbah ketimbang bahasa operasional yang segera harus diterapkan. Dalam situasi memprihatinkan seperti adanya pandemi global bernama Corona saat sekarang ini, mendengar pejabat pemerintah bicara Reformasi Birokrasi bahkan lebih menjemukan dari mendengar curahan hati seorang teman yang bercerita begitu melankolis karena gagal diet meski sudah membulatkan tekad. Tanpa kita membuka lembaran-lembaran novel best seller Conan Doyle dengan tokoh detektif rekaannya, Sherlock Holmes, kita sebenarnya bisa dengan mudah melakukan investigasi kecil-kecilan untuk mencari penyebab mengapa reformasi birokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya? sudah barang tentu penyebabnya adalah Budaya Birokrasi Ewuh Pakewuh yang begitu melekat didalam manajemen pemerintahan. Tak bisa dipungkiri sebagai orang timur kita sangat akrab dengan budaya Ewuh Pakewuh yang secara harfiah diartikan sebagai kesungkanan dalam batas-batas norma yang akan meningkatkan tali silaturahmi dalam suatu lingkungan,perkumpulan, atau organisasi. lebih dari itu Ewuh Pakewuh terkadang justru menjadi etika tak kasat mata yang selama ratusan tahun begitu menghegemoni dan menjangkiti tubuh birokrasi di negara berpenduduk hampir 270 juta jiwa ini. Dalam era revolusi industri 4.0 budaya birokrasi ewuh pakewuh tentu bukan lagi hal yang relevan sebab segala sesuatu tentang kinerja birokrasi lebih berorientasi pada kualitas pelayanan, dan yang menjadi tuan adalah masyarakat, bukan lagi atasan atau pejabat pemerintahan. dalam rapat-rapat kerja kementerian, dinas, atau satker budaya birokrasi ewuh pakewuh harus diberangus habis oleh karena membuat birokrasi kita bak mobil tua yang berjalan sangat lambat. sebagai contoh, seorang ASN dengan golongan 3A tidak boleh lagi sungkan menyampaikan ide dan gagasanya di depan pejabat eselon 2 yang memimpin rapat hanya karena menjunjung tinggi budaya ewuh pakewuh. pun sebaliknya sang pejabat eselon 2 tak boleh mengintervensi bawahannya yang berpangkat rendah soal ide dan gagasan di dalam rapat hanya karena nyaman menunggangi budaya ewuh pakewuh yang sudah terlanjur menjadi tradisi. Jika hambatan-hambatan psikologis semacam ini bisa diselesaikan secara cepat tentu kinerja birokrasi akan membaik. Jika tidak mau dibilang feodalistik seorang pemimpin harus mulai membudayakan model kepemimpinan transformasional, yang mengedepankan kolaborasi antara bawahan dengan atasan, tukar menukar ide, dan menghilangkan kesungkanan atas nama etika agar birokrasi dapat segera reform. Akhirnya relevansi dan misteri Budaya Birokrasi Ewuh Pakewuh dapat kita pecahkan tanpa harus menjadi sherlock holmes, hanya dengan fikiran sederhana, yang tentunya harus ditunjang implementasi yang kongkrit. hanya dengan bersantai meneguk kopi dan martabak sisa semalam sembari berjemur di pagi hari karena kita mencoba patuh pada protokol kesehatan dalam rangka memerangi corona yang sudah ditetapkan pemerintah. ahh, sudahlah, saya mau mandi, sampai jumpa lagi. Dirumah aja dulu ya..

Sumber: