Pokmas Setor Rp 60 Juta ke Konsorsium Freedom

Pokmas Setor Rp 60 Juta ke Konsorsium Freedom

SIDOMULYO – Persoalan pungutan uang pembuatan sertifikasi tanah melalui program nasional (Prona) di Desa Sidowaluyo, Kecamatan Sidomulyo sampai juga ke DPRD Lampung Selatan. Senin (9/5) kemarin, lembaga legislatif itu mendatangi Desa Sidowaluyo untuk melakukan dengar pendapat dengan masyarakat Sidowaluyo, Pj. Kades dan Pokmas Sidowaluyo. Dari dengar aspirasi yang dilakukan jajaran Komisi A DPRD Lampung Selatan melihat ada hal yang tidak beres dalam kepengurusan Prona di Sidowaluyo. Untuk itu, alat kelengkapan dewa (AKD) yang membidangi urusan pemerintahan dan hukum ini meminta agar Pokmas dapat mengembalikan uang pungutan yang sudah dilakukan kepada masyarakat. “Yang jadi persoalan utama adalah Desa Sidowaluyo tak mendapatkan program Prona. Jika tidak ada, ya harus dikembalikan. Masalah seperti ini bukan yang pertama kali terjadi di Lamsel,” ungkap anggota Komisi A DPRD Lamsel Andi Apriyanto, A.Md kepada Radar Lamsel, Senin (9/5). Rombongan Komisi A itu dipimpin Ketua Komisi A, H. A. Bakri, S.Pd, M.M. Dalam diskusi yang melibatkan para pemohon yang notabennya adalah masyarakat Sidowaluyo itu juga terungkap jika pihak Pokmas telah menyetorkan uang sebesar Rp 60 Juta kepada Konsorsium Freedom. Lalu, besaran pungutan yang dilakukan bervariatif. Bagi warga yang memiliki bidang tanah namun tak memiliki alas hak dipungut sebesar Rp 1,5 juta. Sedangkan bagi yang memiliki sebesar Rp 1 Juta. Jumlah pemohon sertifikat prona yang telah mengajukan sebanyak 300 orang. Dari uang pungutan itu pihak Pokmas menyetor uang ke Konsorsium Freedom sebesar Rp 450 Ribu. “Tetapi yang disetor belum semua. Baru sebesar Rp 60 Juta. Itu artinya baru sekitar Rp 200 Ribu per usulan. Kami minta pihak Pokmas berupaya mengambil kembali uang ini dipihak Konsorsium Freedom itu,” ungkap Ketua Fraksi PKS DPRD Lamsel ini. Sekretaris DPD PKS Lampung Selatan ini juga mewarning seluruh desa untuk bertindak gegabah. Utamanya dalam pengurusan sertifikat prona yang merupakan program nasional. Dia menyarankan agar pengurusan prona tidak melibatkan pihak ketiga sehingga kasus serupa tidak terjadi lagi di Lamsel. “Hindari pihak ketiga. Jangan sampai masalah yang seperti ini terjadi kembali,” ujar dia. Senada dikatakan dengan anggota Komisi A DPRD Lamsel Sukarnen Wiryodinoto. Politisi Partai Demokrat ini dengan keras menyebutkan bahwa pungutan tersebut merupakan tindakan yang melanggar aturan. Sebab, sepengetahuannya sebagai mantan Kepala Desa (Kades) di Kecamatan Tanjungbintang pengurusan prona tidak melibatkan pihak ketiga. “Ya, cukup dengan Pokmas saja,” ungkap dia. Persoalan itu menjadi atensi Komisi A DPRD Lamsel. Dalam waktu dekat Komisi A DPRD Lamsel juga akan memanggil pihak BPN Lampung Selatan untuk mengklarifikasi persoalan yang terjadi. Sementara itu, mantan Kepala Desa Sidowaluyo Tarsan mengakui jika pihaknya sudah menyetor uang untuk pembuatan sertifikat Prona kepada Konsorsium Freedom sebesar Rp 60 juta. Uang tersebut diambil dari akumulasi pungutan yang telah dihimpun dari masyarakat dengan total Rp 165 Juta. “Pungutan belum semuanya dilakukan. Dari jumlah yang terhimpun, Rp 60 juta setor ke Konsorsium Freedom,” ungkapnya. Dia juga terang-terangan membuka mengenai pembagian jatah proporsional antara pihak Pokmas dan Konsorsium Freedom. Yakni sebesar 45 persen untuk konsorsium dan 55 persen untuk Pokmas. Jumlah itu diambil dari besaran pungutan sebesar Rp 1 Juta per usulan. Suyarno (45) warga Desa Sidowaluyo bersikukuh agar uang yang telah disetor dikembalikan. “Kami hanya meminta uang kembali, namun jika begini adanya apa boleh buat. Jalur hukum pun, akan kami tempuh. Ini merupakan penipuan,” ujar Suyarno. (ver)

Sumber: