Terus Anjlok, Petani Tebang Ratusan Hektar Karet
WAY PANJI – Komoditi getah karet tidak lagi menjanjikan, petani perkebunan karet di Lampung Selatan, terpaksa menebangi pohon karet yang tertanam pada ratusan hektar lahan milik mereka. Petani menilai sejak kurun waktu tahun 2017 lalu, hingga saat ini, harga komoditi getah karet di tingkat petani tidak kunjung membaik bahkan cenderung merosot. Sehingga, dinilai tidak menguntungkan lagi sebagai sumber utama pendapatan usaha. Ketut Nantre (55) petani perkebunan karet di Desa Bali Nuraga mengatakan, sekitar 550 batang pohon karet miliknya di lahan seluas satu hektar lebih, yang memasuki umur 10 tahun terpaksa ditebang. “ Tidak kurang dari 550 batang pohon karet di lahan satu hektar milik saya di tebang,” kata ketut Nantre kepada Radar Lamsel, Rabu (11/11). Langkah itu terpaksa ia lakukan bertujuan mengalih fungsikan lahan perkebunan karet miliknya mejadi sebuah lahan sawah. Meski ia harus rela megeluarkan biaya ekskavator mencapai 50 juta rupiah. “ Kalo mau difikir ya berat mas, mengeluarkan biaya garap lahan ini ,menjadi sawah mencapai 50 juta rupiah umumnya persatu hektar lahan” terangnya. Dirinya menjelaskan alasan penebangan pohon karet tersebut ia lakukan, karena dirinya menilai harga komoditi getah karet ditingkat petani di wilayahnya itu, semenjak tahun 2017 lalu hingga saat ini, tak kunjung stabil bahkan cenderung merosot. “ Harga getah karet semula 2016 lalu Rp 25.000 ribu, kini dibawah Rp 10.000. harga ini tidak ketemu dari setiap hasil produksi yang didapat. Hampir empat tahun kami menunggu, harga getah karet tidak juga stabil. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, kami terpaksa mengalihfungsikan lahan perkebunan karet menjadi sawah,” jelasnya. Sementara, Wayan Race menerangkan, dari satu hektar lahan hasil sadapan getah karet perbulan ummnya mencapai tiga kwintal. Bila di hargai Rp 9.000 perkilogramnya, dikalikan tiga kwintal menjadi Rp 2,7 juta rupiah. “ Bila dua orang pekerja di upah Rp 85.000 perhari saja selama 20 hari menelan biaya sekitar 1,7 juta belum lagi dihitung biaya oprasional saat menyadap. Sehingga, setiap menjual hasil panen perbulan, kami hanya cukup menutupi biaya warung saja. Tidak ada hasil lebih,” kata wayan Race. Mengingat hal tersebut wayan Race dan petani perkebunan karet di Kecamatan Waypanji lainya, saat ini berbondong-bondong menebang semua pohon karet mereka, untuk lahanya dialih fungsikan menjadi sawah. Dengan harapan, usaha tani sawah lebih realistis untuk menopang kebutuhan keluarga. “ Lahan pertanian ini sebagai sumber pendapatan utama. Dengan dialih fungsikan menjadi lahan sawah. Minimal hasilnya dapat menutupi biaya keluarga. Kami juga berharap kepada pemerintah, adanya kemudahan bagi petani untuk mengajukan pinjaman modal usaha di bank,” harap Wayan Race dan diamini oleh petani lainya. Terpisah, Kepala UPT PTPHBun Kecamatan Waypanji Kuncoro mengatakan, pihaknya tidak pernah mengintruksikan kepada para petani perkebunan karet di wilayah kerjanya untuk melakukan penebangan pohon karet secara massal. Langkah tersebut diambil oleh petani karet berdasarkan kehendak pribadi. “ karena, petani perkebunan karet di Waypanji menilai hasil produksi dan harga jual tidak sesuai lagi,” kata Kuncoro kepada Radar Lamsel, kemarin. Bahkan dirinya mengaku, sudah mengimbau bagi petani karet di Waypanji untuk menunda penebangan secara masal pohon karet mereka. “ Ya, kami juga sudah mengimbau untuk tidak di tebang pohon karetnya. Sebab, harga karet terus mengalami fluktuasi harga,” terangnya. Meski demikian, Kuncoro mengaku telah melaporkan persolan tersebut kepada Pemkab Lamsel. “ Hal ini sudah kami sampaikan kepada Pemkab Lamsel. Bahkan pemerintah daerah pun belum lama ini pernah memberikan bantuan stimulus bagi petani perkebunan karet ini. Persolan karet ini sangat kompleks. Mulai dari olah lahan mulai pra sampai pasca panen, petani belum mengusai secara optimal. Sehingga, kualitas lateks yang dihasilkan kurang baik. Sehingga hasil produksi mereka dihargai murah,” pungkasnya.(sho)
Sumber: