Petani Anggap Harga GKP Belum Sesuai

Petani Anggap Harga GKP Belum Sesuai

WAY PANJI - Turunnya harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani musim rendengan, sangat dikeluhkan utamanya oleh petani penggarap lahan. Harga merosot dari tahun sebelumnya Rp 3.800 hingga Rp 4.000 perkilogram, kini harga GKP turun menjadi Rp 3.600-3.700 perkilogram. Mereka berpendapat, harga GKP ditingkat petani yang hanya Rp 3.700 perkilogram belum sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan.   Bahkan, terkini ongkos usaha tani semakin meningkat. Sementara, harga GKP ditingkat petani tak kunjung stabil setiap memasuki masa panen. Utamanya, pada waktu panen raya di musim rendengan.   Mengingat hal tersebut, sebagian petani ada yang berencana mundur teratur, dengan cara mengurangi lahan garapan dengan menyerahkannya kepada pemilik lahan.   Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang petani penggarap lahan di Desa Sidoharjo, Kecamatan Waypanji  Ketut Kawi (50). Dimana ia mengatakan, semakin kemari ongkos oprasional mulai dari persiapan lahan hingga panen tiba, cukup memberatkan bagi dirinya.   Sementara, harapan tunggal untuk dirinya mendulang rupiah waktu panen, dengan menjual hasil produksi dari lahan garapannya, dikatakannya, sangat pas pasan. Sehingga, belum mampu mencukupi seluruh kebutuhan keluarga.   \" Untuk saya petani penggarap, harga GKP Rp 3.700 perkilonya belum sesuai,\" kata Ketut Kawi saat memberi keterangan kepada Radar Lamsel, kemarin.   Ia menuturkan,  persatu hektar sawah umumnya di musim rendengan, hasil produksi padi rata-rata 6 ton. Bila di hitung dengan harga GKP Rp 3.700 maka keluar hasil produksi Rp 22 juta.   Setelahnya, dipangkas biaya oprasional mulai dari persiapan lahan hingga panen Rp 7 juta, maka keluar hasil produksi Rp 13 juta dua ratus ribu.   Baru kemudian sambunya, hasilnya di bagi dua antara dirinya dan pemilik lahan. Jika hasil produksi Rp 13 juta, maka di bagi dua, dan hasilnya keluar Rp 6,5 juta perseorang.   Bagi para petani penggarap hasil 6  juta tersebut kotor. Sebab, belum di potong ongkos dan biaya perawatan tidak terduga.   \" Ketemu bersihnya Rp 3 juta. Hasil ini belum cukup menutupi lelah kami selama empat bulan menggarap sawah,\" tuturnya.   Mengingat hal tersebut, Ketut Kawi bahkan berfikir untuk mengurangi lahan garapannya, dengan cara mengembalikan lahan garapan kepada pemilik lahan.   \" Kalo kondisi seperti ini terus, jelas sangat memberatkan untuk kami petani penggarap. Bahkan saya dan istri sempat berfikiran, akan mengurangi lahan garapan dengan mengembalikannya kepada pemilik lahan. Karena, dengan harga gabah basah Rp 3.600-3.700 perkilogram, ditambah biaya pupuk naik, obat-obatan naik, upah pekerja naik dan lainya, ngegarap sawah milik orang lain tidak lagi menguntungkan,\" katanya.(sho)

Sumber: