Terdakwa Pencabulan Dihukum 3 Tahun, Jaksa Bakal Banding
LPHPA: Keputusan Hakim Melukai Hak Korban KALIANDA - Pengadilan Negeri (PN) Kalianda menjatuhkan pidana penjara kepada MI, YA, AH, dan MT masing-masing selama 3 tahun. Hukuman itu disertai dengan denda sebesar Rp1 miliar. Putusan itu tak senada dengan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut keempatnya dengan hukuman 10 tahun penjara, dengan denda yang sama. Tuntutan yang dilayangkan JPU telah sesuai dengan UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Sebagaimana yang berbunyi di Pasal 82 ayat (1). Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, dan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Saat ditemui, Juru Bicara PN Kalianda, Ryzza Dharma, S.H. membenarkan bahwa perkara nomor 35 Pidsus 2022 Kla itu sudah diputus. Ryzza mengatakan putusannya dinyatakan para terdakwa telah terbukti sah melakukan tindak pidana/turut serta untuk melakukan perbuatan cabul. Majelis hakim yang memeriksa perkara sudah menjatuhkan putusan selama 3 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Lebih lanjut, Ryzza mengatakan perkara ini dilimpah dengan dakwaan alternatif. Alternatif pertama, para terdakwa didakwa oleh penuntut umum melanggar Pasal 81 Ayat 2 UU Tentang Perlindungan Anak. Alternatif kedua, Pasal 82 Ayat 1 Tentang Perlindungan Anak. Kemudian dalam putusannya, majelis hakim memilih alternatif kedua. \"Berarti pertimbangan yang dilakukan oleh majelis hakim menggunakan pembuktian unsur-unsurnya adalah unsur-unsur dalam Pasal 82 Ayat 1,\" katanya. Terkait pertanyaan awak media dengan lamanya pidana yang diputuskan, Ryzza mengatakan bahwa majelis hakim mempertimbangkan segala sesuatu yang terungkap. Termasuk fakta-fakta di persidangan. Majelis hakim juga mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan bagi para terdakwa. Menurutnya, yang memberatkan hukuman yakni perbuatan para terdakwa yang meresahkan masyarakat. Keadaan yang meringankan para terdakwa menyesal, dan berusia muda, dan memiliki waktu yang panjang menjadi pribadi lebih baik. Ketiga, antara korban dan para terdakwa telah ada perdamaian. Ryzza mengatakan itulah hal-hal yang memengaruhi keputusan majelis hakim. Tuntutan yang dilayangkan JPU selama 10 tahun, kemudian diputus seperti itu, tentu majelis hakim punya argumentasi pertimbangan yang dituangkan di putusan. Bila ada pihak kurang berkenan dengan keputusan itu, Ryzza menyebut pihak-pihak tersebut bisa melakukan upaya hukum. \"Kalau putusan ada pihak yang tidak puas, korban maupun terdakwa, bisa melakukan upaya hukum berupa banding, kasasi, dan lain-lain,\" katanya. Pihak Kejaksaan Negeri Lampung Selatan (Kejari Lamsel) bakal mengajukan banding terkait dengan putusan tersebut. Hal itu dikatakan secara langsung oleh Kajari Lamsel, Dwi Astuti Beniyati, S.H.,M.H. melalui Kasi Pidum Kejari Lamsel, Aldo Sianturi, S.H.,M.H. ketika ditemui awak media di ruangannya. \"Kami akan melakukan upaya hukum banding, karena kami telah menuntut perkara tersebut dengan 10 tahun penjara,\" katanya. Namun, majelis hakim telah memutuskan pidana penjara selama 3 tahun. Menurut pihak Kejaksaan, tuntutan tersebut masih di bawah ancaman minimum yang dimuat dalam Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak. Padahal di dalam Undang-Undang itu, lanjut Aldo, minimal tuntutan 5 tahun pidana penjara. \"Kami sebagai JPU tentunya mewakili kepentingan korban, di mana Negera itu hadir dalam tindak pidana yang memang cukup menjadi pemikiran banyaknya tindak pidana perlindungan anak,\" katanya. Hasil putusan tersebut mendapat perhatian dari LPHPA (Lembaga Pemerhati Hak Perempuan dan Anak) Lampung. Toni Fisher, selaku direktur lembaga itu mengatakan dari perspektif Undang-Undang, dan juga sebagai pemerhati hak anak, keputusan hakim tersebut sangat melukai hak-hak korban dan keluarganya. Selain itu keputusan hakim tersebut juga tidak sesuai dengan amanah Undang-Undang Perlindungan Anak. Toni pun sangat mendukung pihak kejaksaan untuk melakukan banding atas putusan hakim tersebut, dan berharap kepada Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan untuk juga memantau kasus ini, agar menjadi perhatian. \"Semoga selanjutnya menjadi pelajaran untuk penegakan hukum kasus kasus anak di Lampung Selatan,\" kata Toni. Mengenai alasan yang membuat majelis hakim memberikan hukuman 3 tahun penjara kepada para terdakwa, Toni tidak bisa menerimanya. Dia mengaku sangat prihatin dengan hal ini. Seharusnya, kata Toni, majelis hakim juga mempertimbangkan banyaknya jumlah pelakunya. \"Dan pelakunya bukan anak-anak. Sebagai pembanding pada kasus pidana umum pengeroyokan saja tuntutannya minimal 5 tahun. Ini kasus anak yang menjadi korban dengan undang-undang yang Lex specialis,\" katanya. (rnd)
Sumber: