Tangis Guru Honorer: Tuntutan Profesionalisme dan Realitanya

Tangis Guru Honorer: Tuntutan Profesionalisme dan Realitanya

Oleh: Sakwan, S. Pd., M. Pd. (Anggota PGRI Kecamatan Palas, Kepala SMPN 1 Palas, Lampung Selatan, Lampung) Barangsiapa mahu menjadi guru, biarkan dia memulai mengajar dirinya sendiri sebelum mengajar orang lain, dan biarkan dia mengajar dengan teladan sebelum mengajar dengan kata-kata. Sebab mereka yang mengajar dirinya sendiri dengan memperbetulkan perbuatan-perbuatannya sendiri lebih berhak atas penghormatan dan kemuliaan daripada mereka yang hanya mengajar orang lain dan memperbetulkan perbuatan-perbuatan orang lain. (Kahlil Gibran) Ketika membaca puisi buah karya Kalil Gibran di atas, menyebut kata guru, terbesit dalam benakku, terlintas sosok yang baik, panutan dan berwibawa. Mungkin itulah sekelumit alasannya, mengapa saya menekunni profesi ini. Profesi berjibaku dengan anak negeri, kunci utama untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan yang berkualitas, kunci kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang mengabaikan guru akan selamanya menjadi bangsa yang tertinggal. Bangsa yang menghargai eksistensi guru dan selalu menigkatkan profesional dan mensejahterakan, pasti akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia bangsa tersebut. Namun, kondisi dan realita saat ini, ada kenaifan dan kontradiktif dengan deretan deskripsi serta komitmen regulasi. Fakta yang ditemukan pada  guru honorer, antara angan, penghormatan dan kemulian serta reward yang didapat, seolah menggugurkan semua premis di jagad raya. Kesenjangan begitu jauh, bejibun tugas dan administrasi, tapi cost yang didapat tidak sepadan dengan kelayakan sebuah profesi. Dalam catatan kami pada lembaran memori, deretan birokrat bersimpati pada kami, walau hanya sekadar janji. di depan ribuan guru, mantan kemendikbud Prof. M. Nuh, DEA, berkomitmen memperbaiki kualitas guru. Perbaikan melalui pelatihan, beasiswa studi, atau pemberian gaji yang layak. Tapi, realitanya kami yang masih berstatus honorer, hanya gigit jari belaka.Penantian panjang, pengangkatan sebagai guru PNS hanya khayalan, pemberian gaji sesuai upah minimum, hanya sebatas mimpi. Namun, janji tinggallah janji, entah kapan, dan siapa yang akan mengabulkannya. Estafet nahkoda Kemendikbud berganti, Anies Rasyid Baswedan, Ph.D. Kami guru honorer penuh harapan dengan beliau. Terobosan, ide cemerlang dan komitmennya menyejuk hati dan membangkitkan optimisme. Perbaikan mutu pendidikan secara totalitas, SDM guru dan reward yang akan didapat guru honorer. Dari sekian deretan program yang diiklankan hasil yang kami dapatkan, tidak terlalu signifikan dari pendahulu sebelumnya. Kami masih bertahan pada tahta kelas bawah. Regulasi berjalan terus, tongkat kemendikbud selanjutnya dipegang oleh Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP, wacananya kerap menjadi sorotan praktisi, bergerbong rencana ketimbang mengeluarkan keputusan atau kebijakan berpihak, mulai dari wacana fullday school, penghapusan PR bagi siswa, waktu guru mengajar harus 8 jam sehari, kurikulum nasional yang semuanya itu masih pada tataran wacana. Implementasinya belum berproduksi. Lagi-lagi nasib  guru honorer yang masih berupah Rp.300.000 per bulan? Angin segar dan harapan baru ‘guru honorer’ pada marsinis Kemendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, B. A., M.B.A. Dalam catatan kami, mas manteri berkomitmen memperbaiki kualitas guru dan pembelajaran. Terobosannya mulai akrab dengan kami, episode Merdeka Belajar. Dari 13 episode kebijakan mas Nadiem, episode 3-perubahan mekanisme dana BOS, memberi peluang ke satuan pendidikan untuk mensejahterakan honorer. Tapi, implementasinya belum juga kunjung sampai, satuan pendidikan masih ragu dengan nasib honorer. Kemanusiaan di tapal batas. Kebijakan PPPK menjadi harapan dan visi baru, pengangkatan sebagai guru PNS, tapi entah kapan, dan terealisasi. Mengubah Harapan Pertanyaan yang kerap terlintas dalam benak guru honorer, mengapa guru honorer tetap bertahan pada profesinya meskipun gaji tidak mencukupi? Analisis kejiwaan, yakni guru honorer sangat berharap menjadi PNS. PNS/ASN merupakan dambaan dan menjanjikan kesejahteraan dan jaminan hari tua. Untuk itu, guru honorer akan selalu berusaha dan berharap untuk bisa menjadi PNS/ASN walau harus bertahan dengan gaji kecil sekalipun. Pengabdian guru honorer untuk menjadi PNS/ASN, harapan menjadi pertimbangan karena telah mengabdi (loyal) sampai rentangan waktu tertentu. Namun, walau sudah mengabdi lebih dari 20 tahun sekalipun, belum ada jaminan untuk diangkat menjadi PNS. Realita ini terjadi karena regulasi perekrutan guru masih mengedepankan kognitif. Sehingga banyak guru yang pengabdiannya baru seumur jagung diangkat PNS/ASN. Kecewa lagi, kekecewaan berat, guru tidak lantas beralih ke profesi lain, karena guru honorer masih berharap suatu saat giliran dirinya yang \"lolos\" sebagai PNS/ASN. Tidak memiliki keterampilan lain selain mengajar, dan terbatasnya lapangan pekerjaan, ini juga menjadi alasan si-honorer tetap bertahan. Harapan sebatas harapan, nasib guru honorer yang sudah berpuluh tahun mengabdi dengan gaji yang minim, bertahan demi mendapat giliran untuk diangkat menjadi PNS. Antara Tuntutan Profesional dan Realitanya Ada satu hal yang aneh bin ajaib di negeri ini, menuntut hasil (output) bagus tanpa mengeluarkan banyak biaya produksi. Hal ini juga terjadi dalam dunia pendidikan. Para pemangku kepentingan di bidang pendidikan acap kali menuntut kualitas pendidikan. Mutu pendidikan yang baik akan tetapi nasib  tenaga pendidik tidak di perhatikan—tertama guru honorer. Ini merupakan sebuah realitas yang kita hadapi dari generasi ke generasi. Pemangku kebijakan sering kali mengkambing hitamkan kurikulum sebagai actor yang paling bertanggung jawab dalam masalah kualitas pendidikan. Akibatnya adanya pergantian kurikulum yang baru. Baru seumur jagung lalu diganti lagi dengan kurikulum yang baru. Kesemuanya berimbas pada guru di lapangan,  pada akhirnya menjadi korban. Tuntutan yang besar terhadap kinerja guru honorer namun tidak dibarengi dengan upaya meningkatkan kesejahteraannya. Kesenjangan penghasilan guru PNS dan guru non-PNS menyebabkan timbulnya rasa ketidakadilan terhadap nasib guru honorer. Mengingat tugas mereka sama, yakni mencerdaskan anak bangsa. Inilah realitas dunia pendidikan kita, dari sisi mana memulainya untuk diperbaiki? Rapatkan Barisan Untuk Mencari Solusi Solusi dari persoalan pendidikan saat ini, terutama nasib si-guru honorer . Peran pemerintah minimal dua hal perlu dilakukan. Pertama, perbaiki sistem perekrutan guru honorer menjadi guru PNS/ASN. Pemerintah harus memberantas mafia (jika ada) atau oknum yang memperjualbelikan formasi PNS/ASN kepada para guru. Perbaiki data jumlah guru honorer agar tidak ada perbedaan data antara pemerintah dengan pihak di luar pemerintah. Kedua, tingkatkan pendapatan guru honorer. Ketika guru lain bicara cara pengembangan kompetensi guru, guru honorer masih berkutat dengan persoalan gaji kecil (tidak layak). Biaya untuk pengembangan diri, kebutuhan sehari-hari saja guru honorer harus menghutang; gali lubang tutup lubang. Minim biaya hidup guru honorer , tidak bisa dibiarkan terus menerus—berkepanjangan, karena penghasil dapat memengaruhi kinerja guru. Kinerja guru yang rendah akan memengaruhi standar kompetensi lulusan. Kompetensi lulusan rendah akan menjadi beban bangsa di masa depan.

Sumber: