Masyarakat Way Sulan Menyambung Hidup dari Hasil Penambang Pasir Tradisional
WAYSULAN – Polemik terkait peraturan pertambangan yang harus dipatuhi oleh setiap perusahaan pertambangan baik skala kecil maupun skala besar masih menjadi persoalan di bumi khagom mufakat ini. Tak terkecuali di Kecamatan Way Sulan. Untuk menyambung hidup, para petani setempat menggantungkan harapan mereka di pertambangan yang ada diwilayah setempat. Dengan menggunakan peralatan tradisional, masyarakat setempat mengharap kepingan rupiah untuk kehidupan sehari-hari. Ironisnya, para petani yang mayoritas sebagai petani padi ini mengaku penghasilan dari hasil panen saja sudah habis untuk menutupi biaya operasional perawatan padi. Karenanya, petani setempat saat ini menggantungkan hidup mereka di pertambangan milik rakyat. “Jika tidak menggeluti profesi sebagai penambang pasir, warga disini mau makan apa mas. Sedangkan dari hasil pertambangan tradisional ini saja hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari,” ujar Ujang salah seorang penambang asal Desa Mekar Sari Kecamatan WaySulan, Sabtu (15/10). Pria berusia sekitar 30 tahun ini mengaku, diwilayahnya mayoritas penambang adalah para petani yang mencari penghasilan tambahan. Musim panen yang digadang-gadang bakal menguntungkan ternyata tidak sesuai dengan harapan para petani. Alhasil, profesi sebagai penambang kini menjamur di wilayah Waysulan. Memanfaatkan curah hujan yang terjadi belakangan, Sungai Way Sulan menjadi ladang pertambangan bagi sejumlah petani setempat. “Pertambangan disini adalah pertambangan tradisional menggunakan alat manual dengan mesin penyedot air, serta cangkul dan jaring untuk memilah-milah pasir,” ujar Ujang kepada Radar Lamsel. Menurut Ujang, dirinya beserta rekan-rekan sesama penambang tradisioanal bukan tidak tahu jika pertambangan itu bisa menyebabkan kerusakan alam. Namun, diakuinya tidak ada pilihan lain selain menambang. “Kami tahu ini menjadi persoalan. Namun jika tambang tardisioanal ini ditutup, kami cari makan dimana mas. Sedangkan pertambangan di sini skala kecil dan sangat jauh berbeda dengan pertambangan yang ada di Kecamatan Katibung yang didominasi oleh perusahaan besar,” ungkapnya. Kepala Desa Mekar Sari Farid mengaku, dilema atas apa yang terjadi di tengah masyarakat. Sebab, jika dihalangi warga setempat tidak memiliki penghasilan tetap dan hanya mengandalkan musim tanam yang masih beberapa bulan kedepan. “Sebagai Kades tentu dilema. Membiarkan salah, menutup juga salah. Karena jika ditutup, petani berdalih tidak memiliki penghasilan lain,” ungka Farid. Apalagi jika ada perintah untuk membuat perizinan, mereka (Penambang) tidak memiliki biaya untuk membuat perizinan. Sedangkan hasil dari pertambangan tradisional itu sendiri hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. “Jika hasil pertambangan itu sesuai dan menjanjikan serta luas lahan juga memadai, mereka sangat ingin membuat surat izin. Namun kenyataannya, hasil pertambangan hanya bisa untuk menyambung hidup saja,” terangnya. Terpisah Camat WaySulan Tri Mujianto, mengaku sempat melakukan sidak dikawasan pertambangan tersebut. Karena tidak ada izin dan ketentuan dari penambang untuk melakukan katifitas. “Sempat kami tutup, namun serba salah. Karena memang penambang adalah warga sekitar, dan peralatan yang digunakan juga tradisioanal,” pungkasnya. (ver)
Sumber: