Besar Pasak Dari Pada Tiang
Dewan Bantah Plesiran, Kepekaan Harus Dikedepankan
KALIANDA – Besar pasak dari pada tiang. Begitulah gambaran kegiatan study banding yang dilakukan DPRD Lampung Selatan selama ini. Modal yang besar tak sebanding dengan hasil yang didapat. “Kalau boleh berumpama itu seperti besar pasak daripada tiang. Modalnya besar, hasilnya gak sesuai,” kata salah seorang mantan anggota DPRD Lamsel kepada Radar Lamsel. Meski begitu dia mengakui kegiatan study banding bukan hal yang mubazir. Sebab, meski merogoh dana APBD yang besar tetap ada hal baru yang didapat. Tetapi sayangnya, hal baru tersebut tak juga bisa diimplementasikan di Kabupaten Lampung Selatan. “Sebenarnya ini yang menjadi persoalan. Bukan soal study banding yang dianggap pemborosannya. Sudah boros, hasilnya tak berjalan. Rekomendasi kami (DPRD’red) saat itu bak sampah yang tak pernah didengar,” ungkap dia antusias. Dia mengungkapkan, persoalan sebenarnya yang ada adalah ketidaksiapan anggota DPRD dalam mengkawal rekomendasi atas hasil study banding yang dilakukan. Sehingga publik menilai, DPRD hanya pemborosan anggaran. “Saya akui DPRD kita masih lemah. Tak ada bergaining posision terhadap persoalan pembangunan,” ungkap dia lagi. Kala itu dia pun tak bisa berbuat banyak. Sebab, tidak semua DPRD berpikir seperti dirinya. Menurut dia hal yang perlu dibenahi adalah fungsi budgeting dewan terhadap anggaran APBD yang menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah Daerah (Pemda). “Kalau ini tak dibenahi begitu melulu sampai kapanpun,” ungkap dia sambil mengingatkan Radar Lamsel terkait komitmen namanya untuk tidak ditulis dalam koran. Karena minimnya implementasi itu, dia menjadi dewan yang bertolakbelakang atas kegiatan study banding tersebut. Terlebih dia menganggap bahwa apa yang didapat dari study banding tersebut semuanya bisa diakses melalui media internet yang saat ini serba canggih. “Saya bisa berbuat apa kalau sendirian,” ungkap dia lugas. Dia berharap DPRD Lampung Selatan bisa mengembalikan marwahnya sebagai lembaga legislatif yang memiliki tiga fungsi dalam menjalankan tugasnya sesuai UU. Yaitu fungsi legislasi, fungsi budgeting dan fungsi pengawasan. “Selama saya menjadi dewan yang selalu bermasalah ada pada fungsi budgeting. Tak pernah ada perencanaan pembangunan yang komprehensif untuk kemaslahatan rakyat datang dari DPRD. Padahal sebenarnya bisa. Sementara DPRD itu tahu bahwa yang direncanakan eksekutif itu copy paste dari kegiatan sebelumnya,” ungkap dia. Dibagian lain, Ketua Komisi B DPRD Lampung Selatan Sutan Agus Triendy membantah kegiatan study banding yang dilakukan DPRD Lamsel merupakan plesiran dewan. Dia meyakinkan Radar Lamsel, kegiatan yang dilakukan merupakan sebuah langkah untuk mendukung pembangunan di Kabupaten berjuluk Khagom Mufakat ini. “Kami betul-betul mengunjungi DPRD Kota Surabaya. Bukan jalan-jalan, dek,” kata Sutan kepada Radar Lamsel melalui sambungan telepon kemarin. Namun dia belum bisa menjelaskan secara mendetail mengenai kegiatan tersebut. Menurut dia kunjungan Komisi A dan B ke DPRD Kota Surabaya untuk mengetahui pola kerja dan hubungan kelembagaan antara legislatif dan eksekutif. “Nanti akan saya dedah hasilnya seperti apa,” ungkap Sutan. Sementara itu, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Lampung Arie Oktara, M.A mengungkapkan study banding DPRD sah-sah saja dilaksanakan. Asalkan urgensi dari kegiatan itu benar-benar jelas dan transparan. “Yang menjadi persoalan selama ini adalah ketidakterbukaan kepada publik,” ungkap Arie kepada Radar Lamsel melalui sambungan telepon tadi malam. Akademisi yang tinggal di Kota Kalianda ini mengungkapkan, seharusnya DPRD memfungsikan saluran rakyat baik melalui media massa atau saluran lainnya untuk membuka hasil study banding yang dilakukan. Itu dilakukan sebagai bentuk penilaian terhadap publik tentang apa yang dikerjakan dewan selama study banding. “Publik bisa melihat atau membaca hasilnya. Kalau publik menilai apa yang di study bandingkan bagus pasti akan mendapat dukungan. Begitu sebaliknya,” ungkap dia. Meski begitu Arie mengingatkan jajaran legislatif akan sikap sense of crisis terhadap seluruh persoalan rakyat. Terlebih anggaran untuk kegiatan study banding tidak sedikit.“Sense of crisis itu harus ya, bukan hanya perlu. Karena mereka (rakyat) adalah konstituen. Vox populi vox dei,” ungkap dia. Rakyat Lamsel memang membutuhkan kepekaan pemimpin di Lamsel saat ini. Tak hanya DPRD, jajaran Pemkab Lamsel yang cendrung monoton dalam menyusun program pengentasan kemiskinan perlu terobosan. Lihat saja kesengsaraan masyarakat Desa Sidodadi Kecamatan Sidomulyo yang kehidupannya bertaruh dengan kematian. Sebab, tak hanya berstatus miskin, penyakit yang menyerang mereka seolah melengkapi derita hidup. Usroh (40) misalnya. Ibu rumah tangga ini sudah lama ditinggal pergi suami yang entah kemana. Bertahun-tahun hidup miskin dengan sang anak yang menderita lumpuh sejak lahir. Jangan bayangkan dia bisa menyembuhkan anaknya, untuk makan sehari-hari saja kadang mengharapkan kebaikan darmawan. “Sejak lahir hingga delapan tahun ini anak saya sudah mengalami lumpuh dibagian kaki. Keuangan membuat saya pasrah,” kata Usroh saat ditemui Radar Lamsel dikediamannya, Selasa (21/3) kemarin. Sama seperti Usroh. Surono (40) yang masih satu desa denganya juga senasib. Ia yang mengalami kecelakaan kerja harus merelakan kakinya di amputasi. Kehilangan satu kaki, membuat ekonominya kian merosot. Kini dirinya tak bisa optimal dalam mencari nafkah. “Dulu saya pekerja bangunan juga pengrajin kayu. Dulu saja sudah susah, apalagi sekarang,” ujar pria yang tinggal dirumah geribik bersama neneknya itu. Kemiskinan juga dirasakan Asnawi. Bahkan setengah hayatnya ia rasakan demikian. Kondisi tangan yang patah akibat kecelakaan membuat ia dan keluarganya terseok-seok untuk mencari makan sehari-harinya. Hidup di rumah berdinding geribik sudah biasa ia rasakan. Usaha warung kecil-kecilan yang dimilikinya juga tak cukup kuat untuk menopang biaya hidup sehari-hari. Kepala Desa Sidodadi Rahmat Witoto membenarkan kondisi yang memprihatinkan ketiga warganya itu. Rahmat menjelaskan upaya memberi bantuan sering disosialisasikan kepada publik. “Pernah ibu Asnawati dikunjungi Dinsos Lamsel dan diberikan bantuan, ada juga dari komunitas sosial yang peduli. Pihak desa pun juga terus berupaya untuk sama-sama meringankan beban mereka. Tapi ya hanya sementara,” ungkapnya. Bahkan upaya bedah rumah dalam bulan ini sudah tiga kali dilakukan pemerintah Desa Sidodadi tanpa bantuan dari pihak manapun. “Hal ini juga sudah kami laporkan ke pihak kecamatan. Kami sudah berupaya,” tandasnya. (ver/edw)Sumber: