Hardiknas Diwarnai Corat-coret Seragam SMA

Hardiknas Diwarnai Corat-coret Seragam SMA

Hari Pendidikan Nasioanal (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei bertepatan dengan hari pengumuman kelulusan pelajar Sekolah Menengah tingkat Atas (SMA). Hasilnya, Hardiknas di Lamsel dinodai dengan coretan pylox oleh sebagian pelajar SMA. Laporan VERI DIAL ARIYATAMA, KATIBUNG. ‘Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’, yang maknanya ‘Didepan menjadi teladan, ditengah membangun semangat, dibelakang memberikan dorongan’. Semboyan Bapak Pendidikan Indonesia Ki. Hajar Dewantara itu sepertinya harus dipahamkan lagi kepada para pelajar yang tak tahu apa arti semboyan tersebut. 2 Mei seharusnya menjadi hari nan sakral bagi dunia pendidikan, tepat dihari itulah peringatan hari pendidikan nasional diseluruh Indonesia. Sayangnya, makna Hardiknas seolah tercoreng akbiat ulah sebagian pelajar SMA yang melakukan corat-coret seragam saat pesta kelulusan yang berlangsung (2/5) kemarin. Entah dilatarbelakangi ketidakpahaman atau memang kebiasaan tahunan?, yang jelas fenomena corat-coret seragam dengan pylox itu bisa dijumpai setiap hari kelulusan. Di Katibung misalnya, minimnya pengawasan baik dari pihak sekolah maupun pihak kepolisian. Puluhan pelajar SMA menjadi raja dan ratu jalanan sehari, dengan mengendarai sepeda motor secara berboncengan. Seragam yang tadinya putih bersih menjadi warna-warni akibat coretan pylox. “Kalau kelulusan tidak corat-coret seragam, itu kurang seru mas. Soalnya hanya sekali seumur hidup,” ujar Riki pelajar SMA asal Katibung yang tak mau menyebut asal Sekolahnya. Jawaban pelajar tersebut menegaskan bahwa, fenomena corat-coret seragam saat kelulusan sudah mendarah daging dan menjadi DNA bagi sebagian pelajar yang tidak paham akan makna Hardiknas. Hampir disetiap penjuru Kecamatan di Lamsel dipenuhi konvoi pelajar SMA. Jika sudah begini siapa yang bertanggungjawab? Guru kah? Kepala Sekolah? atau orangtua murid?. “Tugas semua orang,” ketus Zul (40) salah seorang warga Katibung yang menyaksikan konvoi tersebut. Ada banyak cara mengantisipasi pesta pylox tersebut. salah satunya dengan mengumpulkan pelajar kelas XII di aula sekolah dan dengan larangan menggunakan baju putih abu-abu saat menghadiri hari kelulusan. Di SMAN 1 Sidomulyo misalnya, 303 siswa kelas XII dikumpulkan di satu ruangan. Baik sebelum dan sesudah pengumuman peran satpam sekolah terbukti ampuh untuk memeriksa setiap tas milik siswa yang membawa seragam cadangan dan pylox. Dengan begitu antisipasi euforia kelulusan dengan warna pylox bisa dihindarkan. Solusi untuk menghindari hal tersebut tak cuma satu. Cara lainnya justru datang dari Kepala Sekolah SMPN 1 Sidomulyo, Drs. Sarip Supriadi yang memberikan gagasan cemerlang. “Ketika hari kelulusan tiba, para siswa sebaiknya berada dirumah masing-masing. Dengan pertanda jika ada guru yang menyambangi rumah siswa maka siswa tersebut dipastikan tidak lulus. Namun sebaliknya, jika tidak ada guru yang datang siswa dipastikan lulus,” paparnya. Solusi tersebut dianggap jitu, dengan perasaan harap-harap cemas siswa tentunya enggan untuk keluar rumah dan menantikan apakah kedatangan guru dari sekolahnya atau tidak. Alih-alih meng-interpretasikan semboyan Ki. Hajar Dewantara. Pesta pylox yang dilakukan pelajar SMA ini justru berbarengan dengan pelaksanaan Ujian Nasioanl Berbasis Komputer (UNBK) bagi adik-adik yang masih duduk dibangku Sekolah Menengah tingkat Pertama (SMP). Dalam hal ini guru-lah yang menjadi sorotan. Tak jarang guru dijadikan sebagai kambing hitam akibat ulah kenakalan siswanya. Padahal jika melihat kesejahteraan dan tanggungjawabnya, sangat tidak pas jika lagi-lagi guru yang disalahkan. Seyogyanya, para pelajar yang melakukan pesta pylox tersebut diberi hukuman yang mendidik yang menimbulkan efek jera. (*)

Sumber: