Berharap Perbup Ditinjau Ulang, Pegiat Organ Tunggal Minta Diberdayakan
Ketika Rencana Perbup Larangan Hiburan Malam Ditanggapi Masyarakat
Pemkab Lampung Selatan tengah gencar melarang masyarakat menggelar hiburan berupa organ tunggal yang digelar sampai larut malam. Bahkan Pemkab berencana menerbitkan peraturan bupati (Perbup) khusus terkait hal itu. Rencana ini membuat sebagian orang yang berkecimpung di dunia hiburan itu bereaksi. Laporan RANDI PRATAMA, PENENGAHAN LANTUNAN musik dangdut terdengar syahdu di lokasi Pemancingan Ikan, Dusun I, Desa Kekiling, Kecamatan Penengahan, Kamis (18/5) kemarin. Lagu Juragan Empang yang memang tengah nge-hits karena selalu dinyanyikan oleh pedangdut nampak menghibur masyarakat yang memadati pemancingan itu. Hiburan itu memang sengaja disuguhkan kepada masyarakat yang hadir dalam ajang kampanye calon nomor urut 2 Idham Husni pada pilkades Kekiling. Tetapi Tiwi (28), seorang penyanyi panggung nampak kurang energik menguasai panggung. Rupanya ia memang sedang membatasi diri. Terlebih belakangan ini tendensi terhadap para biduan tengah menjadi sorotan publik di Bumi Khagom Mufakat. Rencana larangan hiburan organ tunggal sampai malam hari memang membuat sejumlah masyarakat khususnya para pelaku usaha hiburan resah. Mulai dari pemilik, pekerja, sampai para biduan yang kerap menghibur masyarakat melalui lantunan lagu yang dinyanyikan. Radar Lamsel sempat mewawancarai para pihak yang tengah diruduk keresahan itu kemarin. Ruang wawancara yang dibuka Radar Lamsel membuat mereka membuka suara dan aspirasi. Mereka menganggap jika benar Pemkab akan melarang hiburan organ tunggal sampai malam hari otomatis pelarangan itu akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian mereka. Sebagai pekerja dunia hiburan banyaknya job akan menentukan penghasilan mereka, begitu juga sebaliknya. Para pekerja musik ini menganggap peraturan larangan hiburan organ tunggal pada malam hari akan mengurangi sumber penghasilan yang didapatkan. “Terkadang main full saja kurang, apalagi jatah main kami dikurangi. Otomatis itu mengurangi penghasilan kami. Kami bekerja sesuai dengan usaha kami, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bukan buat macam-macam seperti mebuk-mabukan atau narkoba. Kami kerja cuma buat makan,” kata Heri salah seorang pemilik organ tunggal Meri Elektone saat ditemui Radar Lamsel di Desa Kekiling, kemarin. Menurut Heri, orang-orang yang menjadikan hiburan organ tunggal sebagai biang keladi timbulnya kericuhan adalah orang-orang tidak mengerti akan kondisi mereka. Apalagi organ tunggal dijadikan sebagai kambing hitam keributan. Keributan, kata Heri, bisa terjadi dimanapun dan kapanpun tanpa melihat tempat dan waktu. “Kalau niatnya orang mau ribut, ya dimanapun pasti mencari keributan. Wong orang yang main catur saja bisa rusuh, kalau dia memang lagi mau ribut. Logika saja mas, itu pemikiran saya sebagai orang bodoh yang tidak bersekolah sampai ke tingkat yang tinggi. Jadi saya pikir organ tunggal tidak bisa disalahkan, kita berpikir saja dan kembali pada kesadaran masing-masing,” katanya. Heri melanjutkan, jika Pemkab benar-benar ingin mengeluarkan Perbup mengenai larangan hiburan organ tunggal pada malam hari, ia berharap Pemkab juga bisa memberikan solusi atas nasib mereka. Sebab, larangan itu secara langsung akan berdampak pada mereka. “Apa pernah kami diundang pada even resmi Pemkab? Kalau ada acara besar pasti pemusik-pemusik dari luar yang diundang. Kami tak pernah diberdayakan,” keluh dia. Heri meminta Pemkab Lamsel bersikap adil terhadap seluruh masyarakat. Termasuk kepada kalangan pemusik organ tunggal yang menggantungkan hidup dari panggung ke panggung. Terlebih, kata Heri, biasanya kebijakan larangan itu hanya berlaku pada orang-orang kecil. Sementara orang-orang tertentu tetap diperbolehkan. “Bukan rahasia umum jika orang besar, pejabat dan dari kepolisian jika menggelar hajatan semau-mau, bahkan bisa sampai pagi. Dan mereka yang orang kecil hajatan ini yang dibatasi,” ungkap dia. “Jika pemerintah ingin mendengarkan suara kami, saya disini mewakili rekan-rekan yang lain, kami siap beraudiensi dengan pejabat pemkab,” pungkasnya. Senada dikatakan Ridho (25) seorang pemain keyboard organ tunggal. Dia mengatakan, segelintir orang yang bekerja di organ tunggal mengganggap diri mereka hanyalah bak seorang musisi atau pengamen. Dan tentu saja, untuk menjadi seorang musisi yang harus lihai memainkan alat musik dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menguasainya. “Kami bukan PNS. Mungkin kalau kami ini kuliah, kami pasti akan mencari usaha lain. Sayangnya, kami ini cuma orang yang tidak memiliki titel pendidikan yang tinggi. Kami orang susah, kerja dan usaha lalu menghasilkan uang untuk beli beras,” katanya. Tiwi yang tadinya asik bernyanyi juga ikut berkomentar. Biduanita ini mengaku setuju dengan pendapat Heri yang kurang setuju dengan Perbup mengenai larangan hiburan organ tunggal pada malam hari. “Saya juga menolak. Pemerintah harus mengkaji ulang peraturan itu, karena pertauran itu hanya akan membuat kehidupan kami semakin susah,” kata Tiwi. Profesi sebagai biduan, kata Tiwi, bukanlah pekerjaan yang dapat menghasilkan uang yang banyak. Tiwi mengaku, dirinya menerima upah sebesar Rp 150 ribu sekali manggung. Jika peraturan tersebut benar dikeluarkan, maka hanya akan semakin membuat mereka kesusahan. Belum lagi ditambah dengan permasalahan mengenai job mereka yang tidak bisa dipastikan. “Terus terang saja bang, penghasilan kami ditentukan dari banyak atau tidaknya job manggung. Itu pun kalau kami dipakai, kalau pihak organ tunggal tidak memakai kami dan lebih memilih yang lain bagaiamana?,” keluh Tiwi. Pemkab, kata Tiwi, harus memikirkan para pekerja seperti mereka yang hanya dapat menghasilkan uang dengan menjual suara. Belum lagi dengan status mereka yang sudah memiliki anak. “Mending kalau saya masih gadis, saya memiliki tanggungjawab. Saya punya anak yang harus saya besarkan, begitu juga dengan teman-teman biduan yang lain, tolong dipikirkan itu nasibnya mau bagaimana? Tolong sampaikan kepada pemerintah,” pungkasnya. (*)Sumber: