Pungutan Prona Perlu Standarisasi
KALIANDA – Pungutan biaya pemerosesan program nasional agraria (prona) di Kabupaten Lampung Selatan tak hanya harus jelas dan transparan kepada publik.Namun harus memiliki standarisasi yang ideal agar tidak ada kegaduhan. “Iya. Bukan hanya harus jelas dan transparan. Perlu ada standarisasi. Bukan berarti standarisasi nilai pungutan itu dengan penyeragaman ya,” ungkap anggota Komisi A DPRD Lamsel Andi Apriyanto, A.Md kepada Radar Lamsel di Kalianda, Senin (24/7) kemarin. Alat kelengkapan dewan yang membidangi pemerintahan dan hukum ini memang tengah menyoroti pelaksanaan prona tahun 2017 yang jumlahnya mencapai 35.000 bidang. DPRD Lamsel mendorong agar Pemkab Lampung Selatan melalui satkernya dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lamsel bisa berperan aktif dalam mensosialisasikan program tersebut dilapangan. Khususnya kepada kelompok masyarakat (pokmas) yang ditunjuk sebagai lini terdepan yang mengurusi prona. “Pemahaman ini harus benar-benar sampai kepada masyarakat. Melalui pokmas adalah cara yang paling ideal menyampaikan ini,” ungkap Ketua Fraksi PKS ini. Selama ini, kata Andi, prona di Kabupaten Lamsel memang mengalami berbagai kendalam dalam pelaksanaannya. Besaran pungutan yang terlalu membebankan masyarakat menjadi hal yang kerap terjadi. “Masyarakat itu kalau jelas dan transparan tidak keberatan. Tetapi tidak jika sebaliknya. Makanya harus ada pemahaman melalui sosialisasi yang intens,” ungkap Andi. DPRD Lamsel juga memaklumi adanya biaya pemerosesan SHM melalui prona yang tidak ditanggung oleh negara. Karena itu, ia juga mendorong agar lini-lini pelayanan dalam pemerosesan prona juga harus benar-benar efektif bekerja dilapangan agar pungutan yang dibebankan kepada masyarakat adalah untuk memenuhi kebutuhan biaya yang tidak ditanggung negara. “Tetapi tidak juga memberatkan masyarakat. Harus ada standarisasinya,” ungkap Andi. Standarisasi pungutan itu, tambah Andi, juga bukan dengan penyeragaman nilai pungutan antara satu desa dengan desa lainnya. Luasnya wilayah dan medan dilapangan dalam proses pengukuran lahan juga harus menjadi pertimbangan dalam penetapan angka. “Harapan kami jangan sampai program ini tidak sukses dan menimbulkan masalah. Pemkab dan BPN harus intens bersosialisasi. Nanti akan kita coba hearing bidang yang mengurusi ini,” ungkap Andi. Diketahui sebelumnya pungutan dalam pemerosesan program nasional agraria (Prona) harus jelas peruntukannya. Jika tidak jelas itu merupakan pungutan liar (pungli). Tak hanya jelas, pungutan tersebut juga harus diumumkan kepada publik melalui papan pengumuman ditempat-tempat pelayanan prona. Baik di pemerintah desa, kelurahan, kecamatan, Pemkab maupun badan publik lainnya yang menjadi tempat pelayanan prona. Asisten Senior Ombudsman RI Perwakilan Lampung Ahmad Saleh David Faranto mengungkapkan, pungutan dalam pemerosesan sertifikat melalui prona boleh-boleh saja dilakukan badan publik yang membuka pelayanan. Asalkan, pungutan itu harus jelas dasarnya. “Karena jika mengada-ada, itu pungli namanya,” kata bang David, sapaan akrab Ahmad Saleh David Faranto kepada Radar Lamsel. (edw)
Sumber: