Warga Tanjungsari Minta Jokowi Jangan Resmikan JTTS

Selasa 15-01-2019,08:27 WIB
Reporter : Redaksi
Editor : Redaksi

Sebelum Persoalan Sengketa Tanah Selesai

KALIANDA – Sengketa kepemilikan tanah atas keberadaan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) kembali mencuat. Kali ini giliran warga Desa Tanjungsari, Kecamatan Natar berjuang demi mempertahankan hak yang diklaim milik mereka. Informasi yang dihimpun,180 Kepala Keluarga (KK) di Desa Tanjungsari belum menerima Uang Ganti Rugi (UGR) atas 256 bidang tanah yang masuk skema mega proyek JTTS. Warga mempertanyakan validasi terkait data fiktif yang mengklaim 256 bidang tanah tersebut. Suroyo (40), satu dari ratusan KK di Desa Tanjungsari mengadu ke Kantah ATR Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lampung Selatan perihal validasi data pengklaim tanah mereka yang disinyalir fiktif. Sebab, kata dia, sejak tahun 1977 data penggarap lahan adalah para tetua disana. “ Pegangan kami sporadik dan surat penggunaan dari desa. Sebab belum ada pembebasan tanah dibawah tahun 2.000 tetapi kenapa tiba-tiba begitu ada pembangunan JTTS, muncul pihak yang mengklaim tanah kami. Maka kami datang untuk mempertanyakan validasi tersebut ke BPN,” kata Suroyo kepada Radar Lamsel, di BPN Lamsel, Senin (14/1). Ia juga meminta keadilan agar Presiden Joko Widodo jangan dulu meresmikan JTTS sebelum deretan panjang permasalahan ini selesai. “ Kepada Pak Jokowi kami berharap keadilan. Sebaiknya Tol jangan dulu diresmikan sebelum ini tuntas. Karena kami selalu digiring keranah pengadilan, sedangkan kami tak mendapat jawaban atas pertanyaan siapa pengklaim lahan kami? Alamatnya serta datanya pun fiktif karena sampai detik ini kami tidak tahu dari mana asal-usulnya,” beber dia. Surono beserta warga lain yang menuntut hak nya tengah menunggu jawaban daripada surat yang dimasukkan ke BPN. Apakah status tanah itu tanah marga atau tanah negara. Karena dari 1977 sudah ada data para penggarap tanah dari tetua warga. “ Kita tunggu jawaban BPN, apakah itu tanah negara atau tanah marga sebab dari 1977 kami punya data penggarap tanah yang notaben tetua kami,” kata Surono yang sempat dikurung selama lima bulan lantaran bertahan melindungi haknya saat eksekusi tanah berlangsung. Janggalnya lagi, kata dia, hasil pengukuran Satgas A yang dihuni BPN dan PUPR menetapkan kepemilikan tanah atas nama-nama masyarakat. “ Totalnya 256 bidang mencapai sekitar 50 hektar, sementara data yang dismpulkan berbeda-beda. Pengukuran Satgas A yang notabenne dihuni orang-orang PUPR dan BPN menetapkan pemilik tanah adalah warga. Maka kami berusaha menelusuri validasi dan ternyata alamatnya palsu,” ungkapnya. Suroyo berharap sengketa ini bisa diselesaikan disini (BPN ‘red) tanpa harus ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Petun). Mereka juga berharap validasi sertifikat pengklaim tanah mereka dibatalkan dan meminta UGR dibayarkan sesuai dengan hasil pengukuran Satgas A. Senada dengan Suroyo, Awaludin (40) satu dari ratusan KK yang merasa hak nya direnggut mengatakan, pihaknya rutin membayar pajak ke BPPRD Lamsel dan punya pegangan sporadik. “Aturan Agraria tahun 2016 itu memang hak kita apalagi UU no 2 tahun 2012 presiden dan DPR RI mengatur bahwa itu sah milik kita. Kita punya sporadik dan membayar pajak ke Dispenda (BPPRD ‘red),” beber dia. Ditanya perihal pengklaim tanah mereka apakah sudah mendapat UGR dari Kemen PUPR? Awaludin menerangkan UGR itu saat ini masih dititipkan alias Konsinyasi di Pengadilan Negeri (PN) Kalianda. Mereka pun menegaskan duduk perkaranya bukan persoalan harga namun validasi pengklaim lahan mereka yang pada waktu eksekusi dipertahankan mati-matian oleh warga. (ver)
Tags :
Kategori :

Terkait