KALIANDA – Sengketa kepemilikan tanah atas pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) di Desa Tanjungsari, Kecamatan Natar masih tanda tanya. Sebanyak 180 warga dihadapkan dengan alamat fiktif pengklaim lahan mereka. Sebanyak 256 bidang tanah disana memang telah dieksekusi oleh negara untuk pembangunan mega proyek JTTS. Namun ratusan KK didesa itu tak terima lantaran selama ini status penggarap dan pemiliki tanah adalah tetua warga. Pertanyaan untuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) pun telah diajukan. Atas dasar apa validasi sertifikat pengklaim tanah mereka diterbitkan. Camat Natar Koharudin tak dapat berbuat banyak melihat derita warganya yang merasa dirampas hak-nya oleh mafia tanah. Namun Koharuddin menegaskan warga tidak berlawanan dengan negara melainkan dengan pengklaim tanah. “ Tanah itu sudah dieksekusi pada 2018 lalu dan warga berlawanan dengan pengklaim bukan dengan negara. Karena ada pihak yang mengklaim punya sertifikat atas 256 bidang tanah,” kata Koharudin kepada Radar Lamsel, Selasa (15/1). Ditanya siapa sebenarnya pengklaim 256 bidang tanah itu? Koharuddin pun tak tahu pasti siapa orangnya dan dimana alamatnya. Sebab, hingga saat ini si-pengklaim sendiri tak pernah menampakkan diri. “ Kalau ditanya pengklaim saya juga kurang begitu paham. Soalnya selama proses sengketa tanah ini berlangsung warga hanya berhadapan dengan data saja, bukan dengan orangnya langsung,” beber dia. Penyelesaian kasus ini pun kian rumit, disamping warga menolak digiring keranah pengadilan. Pertemuan antar warga dan pengklaim lahan pun tak pernah terwujud. Imbasnya, kata dia, kasus ini menjurus ke banyak persoalan mulai dari validasi data hingga dasar BPN mengeluarkan sertifikat tanah tersebut. “ Kalau pertemuan antar warga dan pengklaim ini terjadi mungkin ceritanya berbeda. Paling tidak ada win win solution dari pertemuan tersebut. Tapi nyatanya tidak begitu, warga pun menyatakan bahwa alamat pengklaim tanah itu fiktif,” sebut Kohar. Masih kata Koharudin, bagaimanapun kasus ini tengah menimpa warga Natar. Pemerintah Kecamatan pun, lanjutnya, berharap agar persoalan ini tidak merugikan keduabelah pihak. “ Kita masih tunggu seperti apa kelanjutannya. Sebab, BPN juga tidak mungkin mengeluarkan sertifikat tanpa alasan yang jelas,” imbuhnya. Terpisah, Suroyo (40) satu dari 180 KK yang memperjuangkan tanahnya mengatakan, bahwa belum ada jawaban dari pertanyaan mereka yang diajukan ke ATR/BPN Kantor Lampung Selatan. “ Belum ada jawaban mas, estimasi kalau mau dijawab paling tidak dalam seminggu. Kalau seminggu itu tidak ada jawaban berarti memang tidak ada hasil. Sebab, ada dua kemungkinan. Bisa muncul jawaban dasar validasi atas nama warga atau negara dan bisa juga tidak dijawab oleh BPN,” sebut dia. Diberitakan sebelumnya, Suroyo cs mengadu ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lampung Selatan perihal validasi data yang disinyalir fiktif. Sebab kata dia sejak tahun 1977 data penggarap lahan adalah para tetua disana. “ Pegangan kami sporadik dan surat penggunaan dari desa, sebab belum ada pembebasan tanah dibawah tahun 2.000 tetapi kenapa tiba-tiba begitu ada pembangunan JTTS, muncul pihak yang mengklaim tanah kami. Maka kami datang untuk mempertanyakan validasi tersebut ke BPN,” kata Suroyo kepada Radar Lamsel, di BPN Lamsel, Senin (14/1). (ver)
Koharudin : Warga vs Pengklaim, Bukan Negara!
Rabu 16-01-2019,08:48 WIB
Editor : Redaksi
Kategori :