Gunung Rajabasa Rusak, 164 Ribu Warga Terancam

Selasa 30-08-2016,10:12 WIB
Reporter : Redaksi
Editor : Redaksi

KALIANDA – Sebanyak 164 ribu jiwa lebih warga Lampung Selatan di empat wilayah Kecamatan yakni Penengahan, Rajabasa, Kalianda dan Bakauheni kehidupannya hingga kini masih bergantung pada alam Gunung Rajabasa. Sebab, Gunung Rajabasa yang ada diwilayah kabupaten yang dijuluki Serambi Krakatau ini memiliki segudang sumber kehidupan bagi masyarakat khususnya sumber mata air. Tapi kenyataanya salah satu gunung terbesar di Lampung ini kondisinya kian memprihatinkan. Kerusakan hutan terjadi disana-sini. Bahkan, dari luas kurang lebih 25 ribu hektare, sekitar seribu hektar areal hutan Gunung Rajabasa rusak karena kegiatan perambahan hutan. Selain itu alih fungsi hutan menjadi ladang untuk melakukan kegiatan bercocok tanam juga menjadi fenomena yang jelas dan nampak. Fenomena tersebut telah terjadi di wilayah Register 3 Hutan Lindung Gunung Rajabasa tepatnya diwilayah empat kecamatan yakni Bakuheni, Penengahan, Kalianda dan Rajabasa. Kerusakan ini menjadi ancaman bagi masyarakat Lampung Selatan. Utamanya mereka yang menggantungkan nasib dan penghidupannya di Gunung Rajabasa. Ancaman ini diungkapkan Pengurus Pemuda Pencinta Alam (PANCALA) Lampung Selatan di Gedung Graha Pena Lamsel, Senin (29/8) kemarin. Ketua PANCALA Lamsel Ibnu Kholdun menyatakan, dengan adanya fenomena tersebut sudah barang tentu kehidupan warga yang ada di empat kecamatan tersebut akan sangat terancam. Bahkan, dampaknya juga berimbas terhadap kurangnya pasokan air bersih bagi masyarakat Kota Kalianda yang mengandalkan air bersih dari perusahaan Air Minum daerah (PDAM) Tirtajasa Kalianda. “Kalau kondisi gunung sudah separah itu, mau diapakan lagi. Oleh karena itu, kami dari organisasi Pancala mempertanyakan seperti apa bentuk pengawasan petugas Polisi Kehutanan (Polhut) Dishut Lamsel terhadap keberadaan Gunung Rajabasa selama ini?,” ujar Ibu Kholdun. Senada diungkapkan pengurus Pancala lainnya Tri Yahman. Aktivis yang concern pada bidang lingkungan ini menuturkan, optimalisasi kebijakan alih fungsi hutan dalam rangka untuk mencegah kerugian negara itu sudah sepatutnya mengedepankan peneggakan hukum. Menurutnya, perubahan alih fungsi hutan juga peruntukkannya harus melalui perizinan yang lengkap. Namun pada kenyataannya, akhir-akhir ini banyak hutan konservasi justru telah berubah fungsi yang menjadikan hutan sebagai sumberdaya publik menjadi rusak berantakan. “Dari hasil pengamatan dan penyelidikan yang kami lakukan di wilayah Register 3 Gunung Rajabasa selama ini, telah terjadi suatu kegiatan yang menyimpang yang dilakukan oleh sejumlah oknum masyarakat yang tinggal dibawah lereng gunung rajabasa seperti perambahan hutan dan pembukaan lahan hutan lindung untuk kegiatan bercocok tanam,” ungkapnya. Dia menjelaskan, kegiatan menyimpang tersebut telah terjadi di lokasi register 3 Gunung Rajabasa yang masuk diwilayah empat kecamatan yakni Kecamatan Bakauheni tepatnya di patok batas hutan 345 Desa Tanjung Heran dan Patok batas hutan 356 di Desa Semanak. “Bentuk kegiatannya menjadikan lahan hutan sebagai hutan primer yang lokasinya berada di Curuk Adul Desa Semanak dan Tanjung Heran. Lalu, perambahan hutan terjadi di daerah Tasuk yang bentuk kegiatannya melakukan pembakaran kayu dan pencacakan pohon,” jelasnya. Kemudian, lanjut Tri Yahman, untuk di wilayah Kecamatan Penengahan, itu terjadi di lokasi patok batas hutan lindung 334 yang terletak di belakang wilayah Desa Pisang dengan melakukan kegiatan menyimpang yang sama yakni pembakaran kayu hutan dan pencacakan batang pohon. “Untuk diwilayah Kecamatan Penengahan ini bentuk alih fungsinya berupa pembukaan lahan seluas kurang lebih 5 hektare yang dijadikan ladang untuk bercocok tanam, seperti tanaman jagung dan pisang,” ucapnya. Lalu, untuk diwilayah Kecamatan Rajabasa, itu terjadi dilokasi patok batas hutan B.315 yang terletak di Desa Jondong dan Kota Guring dengan kegiatan menyimpang yang sama, yakni perambahan hutan dengan cara membakar kayu hutan, pencacakan batang pohon, penebangan dan pemangkasan kayu dengan luas lahan hutan lindung yang dirambah kurang lebih 11 hektare. “Alih fungsi yang dilakukan di wilayah Kecamatanh Rajabasa tersebut berupa pembukaan lahan yang dijadikan ladang untuk menanam tanaman sekhai, pisang, cengkih dan tanaman kopi,” terangnya. Sedangkan untuk diwilayah Kecamatan Kalianda, itu terjadi di lokasi patok batas hutan lindung B 65 yang terletak di Desa Pematang dan titik patok B 676 di wilayah Desa Jondong. Adapun bentuk kegiatan yang menyimpang berupa melakukan perambahan hutan dengan cara membakar kayu hutan, pencacakan batang pohon, serta melakukan penebangan pohon menggunakan gergaji (illegal logging). “Berdasarkan dari hasil penyelidikan yang kami lakukan, jika kondisi hutan yang sekarang ini sudah mengalami kerusakan tidak segara dilakukan pelestarian, maka kami pastikan kerusakan hutan lindung di Gunung Rajabasa akan semakin meluas, bisa jadi Gunung Rajabasa akan menjadi gundul,” tegasnya. Oleh karena itu, sebagai organisasi pencinta alam yang peduli terhadap kelestarian lingkungan, Pancala Lamsel menyarankan kepada pemerintah daerah harus segera melakukan pelestarian alam secara konsisten dan terarah. Adanya kerja sama antara pemerintah daerah dengan pemerintah yang ada di desa dan element masyarakat untuk menjaga kelestarian alam Gunung Rajabasa. Selain itu, pemerintah daearah juga harus bisa memilih orang-orang yang jujur, profesional dan berpengalaman dalam melaksanakan tugas pelestarian dan siap konsisten menjaga pelestarian alam khsusunya di wilayah Register 3 hutan lindung Gunung Rajabasa. “Kami juga meminta kepada pihak-pihak terkait khususnya PDAM Tirtajasa Kalianda yang selama ini mengandalkan air dari Gunung Rajabasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Kalianda, agar dapat turut andil dalam setiap kegiatan yang dilakukan dalam rangka pelestarian Gunung Rajabasa. Artinya, jangan hanya memanafaatkan airnya saja, tetapi tidak peduli dengan kondisi yang terjadi di Gunung Rajabasa,” pungkasnya. (iwn)

Tags :
Kategori :

Terkait