Pemblokiran Jalan Sampai Ada Kepastian

Kamis 26-10-2017,01:09 WIB
Reporter : Redaksi
Editor : Redaksi

SIDOMULYO – Aksi puluhan petani asal Desa Sidowaluyo, Kecamatan Sidomulyo memblokir pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) Stationing (STA) 41 Desa Sidorejo terus berlanjut, Rabu (25/10) kemarin. Para petani menegaskan tak akan membuka akses sampai ada kepastian tanggung jawab dari PT. Hutama Karya (HK). Informasi yang dihimpun Radar Lamsel, sebanyak 12 truk tronton yang sempat ditahan oleh petani akhirnya diperbolehkan untuk meninggalkan lokasi proyek STA 41, Selasa malam. Herman (25) perwakilan dari 12 petani cabai asal Dusun VII Desa Sidowaluyo menegaskan, pihaknya sudah mengambil jalan tengah dengan memperbolehkan 12 truk milik rekanan untuk pulang kandang. “12 truk tronton sudah kami perbolehkan pulang kandang dengan catatan tak ada aktivitas apapun di STA 41 sebelum petani menerima kepastian dari pelaksana proyek (PT. Hutama Karya ‘red), kata Herman, kemarin. Penandatanganan perjanjian diatas materai, kata dia, sebagai pegangan petani agar pemilik proyek tidak lepas tangan. Sebab, sejak September lalu puluhan petani sudah pernah mengajukan protes dampak dari debu JTTS. “Sampai hari Jum’at kami tegaskan, kalau memang tidak juga ada kepastian kita sama-sama rugi. Rekanan merugi, kami pun demikian. Pengerjaan STA 41 ya jangan beroperasi, kalau beroperasi kami tak mau tanggung resiko kalau petani sekitar ikut marah,” katanya lagi. Sementara Erwan (43) salah satu dari 12 petani yang protes menerangkan sudah dua kali menanam cabai disekitar pembangunan JTTS. “Periode pertama, cabai usia 1 bulan mati. Kemudian kami tanami lagi sampai usia 2 bulan dan sudah rusak lagi karena debu,” terangnya. Petani meminta ketegasan dan kejelasan sikap dari pemilik proyek untuk bertanggung jawab atas kerusakan tanaman. Sebab kata dia, selama ini pemilik proyek tak pernah melakukan penyiraman disekitar lahan pertanian. Begitu juga dengan pembagian masker yang diakuinya masyarakat Dusun VII tak pernah menerima masker pelindung debu. “Jangankan disiram, masker untuk pelindung debu saja masyarakat Dusun VII nggak pernah dibagikan,” ucapnya. Terpisah Camat Sidomulyo Affendi SE menanggapi aksi yang dilakukan oleh puluhan petani cabai tersebut. Dikatakan wajar jika petani protes buntut dari kerusakan tanaman yang disinyalir disebabkan debu dari pembangunan tol. “Kami minta, UPT DPTPH Sidomulyo, pak Didik untuk meninjau lokasi. Apakah benar penyebab utamanya debu karena ini menyangkut kemaslahatan petani,” tandasnya. Kepala DPTHP Lamsel Ir. Rini Ariasih mengatakan, jajarannya telah turun langsung ke lapangan untuk mengecek 6,5 hektare tanaman cabai yang terkena debu dampak dari pembangunan JTTS. Pihaknya memastikan, tanaman cabai tersebut masih bisa hidup dan panen jika secara rutin disiram untuk menghilangkan debu yang menempel pada daun dan batang tanaman. “Upaya yang harus dilakukan para petani agar tanaman cabainya bisa diselamatkan adalah dengan melakukan penyiraman secara berkala dari sumber air yang memang lokasinya dekat dari kebun. Karena memang kondisi di lapangan angin nya sedang kencang. Sehingga, debu yang bertebaran sangat cepat menimbun perkebunan cabai warga. Meskipun hasil panennya nanti kurang maksimal tetapi langkah tersebut bisa meminimalisir kerugian petani,” kata Rini. Dia menambahkan, sejauh ini telah terjadi komunikasi antara para petani cabai dan kontraktor pembangunan JTTS di wilayah tersebut. Namun, belum ada kejelasan karena masih menunggu jawaban dari pimpinan kontraktor tersebut. “Kami tidak tahu seperti apa hasil kesepakatan antara petani dan kontraktor. Itu menjadi urusan antara petani dan rekanan JTTS. Yang perlu diketahui, analisa produksi pertanian cabai itu membutuhkan biaya produksi Rp30 juta per hektar. Angka tersebut belum termasuk jasa produksi atau upah petani,” pungkasnya. (ver/idh)

Tags :
Kategori :

Terkait