Saban Hari Raya Idul Fitri orang-orang mengaku salah. Ini terjadi di dunia nyata maupun maya, tak ada yang mendaku paling benar. Pengakuan yang sebelumnya jarang ditemui di hari-hari biasa. Meski tak semuanya menang dalam pertempuran melawan hawa nafsu, namun nyatanya pertempuran itu beredampak pada munculnya sikap rendah hati yang ada dalam diri manusia biasa. Pengakuan salah itu tak memandang kelas, jabatan atau profesi. Honorer daerah saja yang saat lebaran tak dapat THR mereka tak sungkan meminta maaf kepada sanak saudara dan tetangganya. Terus terang, ketika takbir berkumandang selepas berbuka di hari terakhir puasa tiba-tiba saya teringat pesan whatsapp yang dikirim oleh seorang honorer daerah kabupaten ini. Ia bertanya apa sebab tidak dianggarkannya THR bagi mereka? Padahal kata dia, tugas honorer nyaris sama dengan apa yang dikerjakan oleh ASN. Sialnya, honorer kerap terdengar mengerjakan tugas-tugas yang mestinya dikerjakan ASN itu sendiri. Memang tak bisa disamakan pendapatan ASN dan honorer. Namun bila melihat tugas yang dikerjakan para penanti honorarium itu. Maka mereka layak mencicipi dana pasti serupa THR. Takbir terus berlalu, namun pesan dari seseorang itu lama menyangkut di kepala. Pesannya singkat, benar-benar singkat. Namun bunyinya lirih, benar-benar dari hati. Barangkali honorer yang menanyakan anggaran THR itu sudah jenuh. Saban lebaran ia, berikut anak istrinya selalu mengharap belas kasih pimpinannya atau belas kasih orang-orang baik. Apakah nasib mereka bakal terus sama di lebaran lain edisi? Entahlah. Untuk urusan yang satu ini jarang sekali pemangku kepentingan yang mau mengaku salah. Polanya cenderung lempar sana lempar sini. Ujung-ujungnya OPD-lah yang diingatkan untuk tanggungjawab dengan anggaran yang sudah di refocusing pula. (*)
Jarang Mengaku Salah
Senin 17-05-2021,10:06 WIB
Editor : Redaksi
Kategori :