PESAWARAN – Aroma kongkalikong pengadaan buku KTSP dan Kurtilas melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Kabupaten Pesawaran terendus. Selain Komisi IV DPRD Pesawaran mencium aroma itu dalam hearing yang digelar Rabu (28/9) lalu,Radar Lamsel juga mencium adanya praktek-praktek pengkondisian pembelian buku tersebut dilapangan. Hal ini berdasarkan penelurusan Radar Lamselkesejumlah sekolah yang ada di kabupaten berjuluk Andan Jejama ini.
Bahkan, salah seorang kepala sekolah mengakui bahwa pengkondisian pembelian buku tersebut dibalut melalui kegiatan plesiran yang bekedok studi banding para kepala sekolah. Kegiatan itu dibiayai dari sucses fee para kepala sekolah yang memuluskan penjualan buku di 303 sekolah dasar (SD) di Pesawaran.
“Mekanisme itu berupa fee dan jalan-jalan dengan dalih studi banding. Penerbit pernah memberikan itu kepada pihak sekolah. Tahun-tahun sebelumnya memang seperti itu mekanismenya,” jelas Kepala Sekolah kepada Radar Lamsel yang menolak untuk dipublikasikan.
Pola pemberian fee kepada kepala sekolah ini merupakan langkah strategis penerbit dalam memasarkan buku kepada sekolah yang tak sesuai dengan regulasi. Karena adanya ‘permainan’ banyak penerbit yang mengeluh karena tidak bisa ikut berkompetisi dalam memasarkan buku-buku serupa kepada sekolah.
Informasi yang dihimpun Radar Lamsel dari beberapa penerbit di Bandarlampung, pihak penerbit sebenarnya lebih senang untuk memasarkan produk secara door to door ke sekolah. Sebab, pembelian buku tersebut merupakan wewenang penuh pihak sekolah. Meski menjual buku secara langsung ke sekolah bukan hal yang mudah, namun pihak penerbit lebih enjoy karena langsung berurusan dengan sekolah.
Begitu juga dengan pola-pola pemberikan diskon yang langsung kepada sekolah. Diskon tersebut diberikan untuk menarik simpati kepala sekolah.
“Lebih enak langsung ke sekolah mas, kalau melalui Dinas Pendidikan, kami takut ada intervensi,” jelas salah seorang penerbit kepada Radar Lamsel.
Meski sulit banyak penerbit tetap langsung memasarkan produknya. Namun belakangan ini terjadi adanya pengkondisian salah satu penerbit tertentu melalui Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) agar para kepala sekolah membeli buku dari penerbit tertentu.
Pengkondisian itu tentu bukan tanpa alasan. Sebab, guna memuluskan jual beli yang tak taat aturan itu penerbit memberikan iming-iming fee untuk kepala sekolah dan MKKS. Bahkan penerbit siap untuk mengajak pihak sekolah plesiran.
Penjualan buku pola ini jelas melanggar aturan. Sebab. pembelian buku tidak melalui mekanisme yang diatur dalam edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dengan nomor SE 06/D/KR/2017 tentang Pembelian Buku Teks Pelajaran Bagi Sekolah Pelaksana Kurikulum 2013 Tahun Pelajaran 2017/2018.
Dalam surat edaran disebutkan bahwa pemesanan buku teks pelajaran Kurikulum 2013 kelas 1, 4, 7 dan 10, pada Semester 1 Tahun Pelajaran 2017/2018 yang menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), wajib dilakukan secara daring (online shopping) melalui laman e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) dengan transaksi cashless, wajib dilakukan kepada penyedia dan harga yang sudah ditetapkan oleh LKPP.
Namun kebanyakan para kepala sekolah di Pesawaran mengaku belum memahami bagaimana cara memesan buku kurtilas kepada para penerbit yang menggunakan sistem sistim elektronik tersebut.
“Kami tidak terbiasa dengan sistem online ini,” kata salah seorang kepala sekolah.
Sementara itu, aroma kongkalikong dalam pengadaan buku di Pesawaran mendapat sorotan aktivis Kaukus Pendidikan Lampung Yuntardi.
Dia menilai langkah yang dilakukan Komisi IV yang melakukan hearing dengan Dinas Pendidikan terkait hal itu sudah tepat. Dia justu mendorong pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) untuk menindaklanjuti hasil hearing tersebut jika ditemukan bukti-bukti adanya penyimpangan dan penyalaggunaan wewenang.
“Karena tidak dibenarkan Dinas Pendidikan mengkondisikan hanya satu penerbit. Kan, Kemendikbud telah meminta agar sekolah yang memerlukan buku pelajaran agar membeli melalui situs LKPP. Hal ini dilakukan untuk menghindari praktek-praktek penyimpangan, kongkalikong dan atau kolusi yang dilakukan oknum-oknum tertentu. Sehingga dalam pengadaan buku tersebut lebih terbuka dan transparan,” kata Yuntardi. (Tim redaksi)