Biaya Prona Harus Dirinci
Jumat 21-07-2017,09:04 WIB
Reporter : Redaksi
Editor : Redaksi
Berpotensi jadi Bancakan Pungli, Miliaran Uang Rakyat Bisa Menguap
KALIANDA – Program nasional (prona) sertifikasi tanah berpotensi pungutan liat (pungli). Sebab, besarnya biaya pembuatan sertifikat secara mandiri menjadi pendorong masyarakat untuk mengikhlaskan besaran uang yang tak lazim dalam pemerosesan surat sertifikat.
Padahal negara telah menjamin pembiayaan dalam pemerosesan sertifikat tersebut meski tidak semuanya ditanggung oleh negara. Untuk menekan maraknya bancakan uang rakyat dalam program itu sejumlah elemen mendorong agar pejabat yang berwewenang dalam hal ini aparatur pemerintahan dan BPN Lampung Selatan merinci biaya-biaya dalam pemerosesan sertifikat tanah mulai dari nol sampai berbentuk sertifikat jadi. Pemahaman ini diberikan melalui sosialisasi yang masif terhadap masyarakat yang menjadi target sasaran program.
Ketua LSM Pro Rakyat Aqrobin AM mengungkapkan, berkaca pada prona sertifikat tanah ditahun-tahun yang lalu, banyak penyimpangan dan pelanggaran dalam pengurusan dan/atau pemerosesan sertifikat. Paling kental adalah bancakan uang pungli.
Sebab, pungutan yang dilakukan lebih dari kata toleransi pengurusan sertifikat tanah. “Gimana nggak pungli kalau pungutan sampai Rp 2 Juta per usulan. Kasus (prona) yang lalu nggak jelas seperti apa duduk perkaranya. Kejaksaan juga diam saja,” kata Aqrobin kepada Radar Lamsel di Kalianda, Kamis (20/7) kemarin.
Aqrobin memahami ada biaya yang tidak bisa dibebankan kepada negara dalam pemerosesan sertifikat tanah melalui prona. Biaya itu antara lain mengenai pembelian materai, pembuatan patok, sampai upah juru ukur luas tanah yang turun kelapangan.
Dari hitung-hitungannya, biaya yang dibutuhkan untuk mengurus keperluan lapangan itu tak sampai diangka Rp 300 ribu. “Kalau sampai jutaan kami mempertanyakan untuk apa saja? Kalau tidak jelas, ya itu pungli. Silahkan Saber Pungli bekerja,” ajak Aqrobin.
Karena itu, untuk menghindari pungli, aparatur pemerintahan baik kelurahan, desa, kecamatan, Pemkab maupun BPN harus membuka secara merinci biaya-biaya yang tidak dibebankan kepada negara. Selanjutnya, biaya-biaya itu dimusyawarahkan bersama masyarakat khususnya masyarakat yang mengajukan permohonan prona. “Kalau hitung-hitungan saya, batas toleransi pungutan itu tidak lebih dari Rp 500 Ribu. Kalau lebih itu sudah kebangetan. Sudah tak wajar,” ungkap Aqrobin.
Dia mengasumsikan dengan pungutan sebesar Rp 500 ribu perusulan saja, uang yang bakal terkumpul dari rakyat dalam kepengurusan sertifikasi prona di Lamsel tahun 2017 dari jatah sebanyak 35.000 bidang tanah bisa mencapai Rp 17 Miliar lebih. “Uang itu sangat besar lho. Yang wajar-wajar sajalah. Masyarakat jangan sampai dibebani,” ungkap mantan Ketua Pemuda Pancasila Lamsel ini.
Untuk itu dia menyarankan agar ada penyeragaman pungutan dalam kepengurusan prona ini. Hal ini dilakukan agar tidak ada kesimpang-siuran terjadi dilapangan mengenai besaran biaya yang terjadi dilapangan. “Misalnya di Desa Sukaraja pungutan sebesar Rp 300 Ribu. Tetapi di Candipuro Rp 700 Ribu. Ini berpotensi menimbulkan keributan dan fitnah,” papar.
Tak hanya mengenai besaran pungutan, Aqrobin juga menyoroti mengenai tepat atau tidaknya sasaran program sertifikasi tanah melalui prona. Sebab, kata dia, banyak masyarakat yang mampu justru mendapatkan program tersebut sementara yang tidak mampu ditinggalkan.
“Ini juga menjadi catatan serius. Program sejatinya adalah untuk membantu masyarakat kecil yang tidak mampu membuat sertifikat tanah secara mandiri. Bukan justru dijadikan ajang ajimumpung bagi masyarakat mampu. Saya berharap dahulukan lah yang tidak mampu, jika sudah seluruhnya tercover baru yang mampu. Jangan kebalik-balik,” ungkap Aqrobin.
Penyeleksian warga mampu dan tidak mampu ini bisa dilakukan saat melakukan musyawarah dengan masyarakat. Dalam musyawarah itu, bisa saja dilakukan selain memufakatkan besaran biaya juga bisa untuk memverifikasi usulan guna mengidentifikai warga mampu dan tidak mampu. “Kalau tidak, program ini tetap tidak akan tepat sasaran. Ini akan menjadi preseden buruk. Sebab, banyak warga tidak mampu yang rumahnya tidak bersertifikat,” papar dia.
LSM Pro Rakyat, tegas Aqrobin, menyatakan akan mengkawal prona 35 Ribu bidang di Lamsel bisa menjadi solusi atas persoalan pembiayaan bagi masyarakat kecil. Dia berharap program ini benar-benar sukses dan tidak menjadi ladang bancakan bagi sekelompok pihak yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan diri sendiri. (edw)
Tags :
Kategori :