Pengungsi Tagih Janji Pemerintah, Harapkan Kehidupan Yang Lebih Baik

Pengungsi Tagih Janji Pemerintah, Harapkan Kehidupan Yang Lebih Baik

Hari ini, tepat 39 hari bencana tsunami menerjang wilayah pesisir Lampung Selatan. Selama itu, proses pemulihan berbagai sektor pun dilakukan. Sebulan lebih berlalu, berbagai keluhan dan harapan mulai datang di benak para korban. Mereka menagih bantuan yang telah dijanjikan oleh pemerintah. Lalu bagaimana kehidupan warga yang harus berbagi tenda di pengungsian ini?   Laporan Randi Pratama, RAJABASA. Tsunami yang menerjang wilayah pesisir barat Lampung Selatan (Bakauheni, Rajabasa, Kalianda, Katibung) pada 22 Desember tahun 2018 akan menjadi bencana yang tak terlupakan. Tsunami itu menyebabkan ratusan rumah hancur dan memakan ratusan korban jiwa. Selasa (29/1) kemarin, tepat 39 hari bencana itu berlalu. Perlahan, kehidupan masyarakat di wilayah tertimpa musibah berangsur membaik. Ada beberapa warga yang sudah berani kembali menempati rumah mereka. Tetapi, ada juga warga yang masih takut akan trauma yang dialaminya sehingga masih enggan kembali. Sama halnya dengan kondisi perekonomian. Meski belum pulih sepenuhnya, sektor ini mulai berjalan. Warga sudah berani berjualan meski hanya mengandalkan lapak seadanya. Seperti berjualan kopi, durian, rambutan, dan lain-lain. Tetapi sayang, semua jenis usaha itu hanya berlaku bagi masyarakat yang masih memilki bangunan rumah utuh. Sementara itu, masyarakat yang berada di pengungsian harus rela berpuasa usaha sampai waktu yang tak ditentukan. Seperti yang terlihat di tenda pengungsian yang berlokasi di SMAN 1 Rajabasa. Di lokasi ini, ada 9 tenda yang menampung sebanyak 34 KK (kepala keluarga). Pengungsi yang tinggal di tenda ini harus rela berbagi tempat. Dalam satu tenda, diisi oleh 3 sampai 4 KK. Mereka memberi batas di dalam tenda dengan ukuran yang telah disepakati. Tenda yang dibagi untuk beberapa KK itu memiliki ukuran dan lebar yang sama rata. Mereka harus rela tinggal dan istirahat di lapak berukuran 2x4 meter, yang ditambah dengan dapur. Warga yang mengungsi di tempat ini harus rela berbagi karena kondisinya tidak memungkinkan. Sahadi (43), warga dusun 1, Desa Kunjir ini mengatakan bahwa dirinya sudah merasa frustasi hidup di tenda pengungsian. Meski demikian, Sahadi mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya, rumah yang sudah Ia huni selama bertahun-tahun telah hancur total. Ia pun meminta kepastian dari pemerintah mengenai soal hunian sementara (huntara). “Padahal kami sudah bahagia, karena waktu itu bapak Kepala BNPB (Doni Monardo) sudah datang dan meletakkan batu pertama. Tapi sampai sekarang, tidak ada huntara atau hunian tetap yang telah dijanjikan pemerintah,” katanya kepada Radar Lamsel saat ditemui di tenda pengungsian Desa Kunjir, Selasa (29/1) kemarin. Warga, kata dia, juga mempertanyakan kejelasan status tanah yang sebelumnya mereka tempati. Menurut Sahadi, wajar jika status tanah menimbulkan pertanyaan dibenak mereka. Sebab, mereka memiliki sporadik atas tanah rumah mereka yang hancur akibat diterjang tsunami. “Itu tanah kami yang di sana bagaimana statusnya. Hunian tetap dan status tanah kami. Kami punya sporadik, status jual beli juga ada. Mau dibuat apa saja silakan, mas. Tapi tolong perhatikan kami ini, bagaimana nasibnya. Kami ini orang miskin,” ucapnya. Selain itu, Sahadi juga menanyakan bantuan uang yang dijanjikan oleh pemerintah pusat yang hingga kini belum terealisasi. Kemudian mengenai perahu dari Menteri Perikanan. Warga, kata Sahadi, membutuhkan semua yang dijanjikan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan mereka. “Saya tidak tahu biaya sekolah digratiskan atau tidak. Yang jelas, mau tidak mau, saya setiap hari harus mengeluarkan uang untuk biaya keperluan anak ke sekolah. Anak saya sekolah di Kalianda, biayanya per hari Rp40 ribu. Kalau begitu terus mau bagaimana. Sementara itu, kami hanya mengandalkan bantuan dari para relawan yang memberi santunan,” katanya. Ahya (50), pengungsi lainnya, juga mengeluhkan kondisi serupa. Pria yang berprofesi sebagai nelayan ini mengibaratkan kehidupan mereka seperti perahu yang terombang-ambing oleh ombak. Menurut Ahya, pemerintah harus segera memberikan sikap terhadap warga yang saat ini masih berada di pengungsian. Ia pun berandai-andai, meski pun biaya sekolah gratis, masih ada biaya lain-lain yang harus dipenuhi. “Tapi kan ada biaya yang lain-lain. Misalnya untuk beli buku, beli yang lain. Itu pakai duit, mas. Sedangkan biaya kita tidak ada, kita enggak kerja,” katanya. Meski Ia dan keluarganya tak memiliki apa-apa lagi, Ahya menegaskan bahwa dirinya tak mau selamanya tinggal di pengungsian. Jika itu terus berlanjut, Ahya mengatakan, bahwa para pengungsi hidup dari belas kasihan orang lain. “Jujur, kami tidak mau hidup seperti ini. Beri kami kesempatan untuk memulai hidup normal, hidup seperti sebelumnya. Kami menginginkan itu, makanya kami tanya, mana janji pemerintah yang mau memberi bantuan. Katanya rumah rusak Rp50 juta, mana. Kami ingin bukti, bukan janji-janji,” katanya. Harapan senada juga dikatakan oleh Ponidi (62), warga dusun 1, Desa Kunjir. Pria yang kehilangan ibu mertua dan iparnya saat tsunami lalu juga meminta pemerintah segera memperhatikan kehidupan keluarganya. Ponidi meminta pemerintah segera memberi kepastian apakah akan membangun  huntara atau hunian tetap (huntap) bagi kroban tsunami yang kehilangan rumahnya. Jika pemerintah memutuskan membangun huntap, Ponidi mengaku rela menunggu sampai berbulan-bulan. Menurut dia, menunggu lebih baik dari pada hidup terkatung-katung tanpa kepastian dan status yang jelas. “Dengan syarat huntap segera dirancang dan dibangun oleh pemerintah, kami siap menunggu berapa bulan, asal kami tinggal hunian tetap. Tidak mungkin kami tinggal di sini terus, mau berapa lama lagi. Atau begini, pemerintah memberi kami kerjaan. Saya mau kerja kuli bangunan, jadi ninggalin anak, bini kan enak,” ucapnya. Sementara itu, kondisi kehidupan masyarakat di tenda pengungsian Desa Waimuli Timur tak jauh berbeda dengan Desa Waimuli Timur. Hanya saja, ada beberapa warga yang membuka warung kecil di pengungsian sebagai bentuk usaha kecil-kecilan. Sebanyak 78 KK yang mengungsi di tenda ini pun turut menagih bantuan uang tunai yang telah dijanjikan oleh pemerintah. Menurut mereka, jika sudah memiliki hunian tetap, warga akan mudah mencari usaha lagi. Mereka menginginkan agar pemerintah turut memberikan bantuan tali asih untuk kebutuhan sekolah anak-anak mereka. “Kalau makan alhamdulillah, selama ini tidak pernah kurang. Tapi kan kami tetap butuh biaya. Kalau mengandalkan bantuan terus, masa depan kami bagaimana,” ucap Nur Aisyah, pengungsi di tenda Waimuli Timur. Suhendi (40), warga Dusun 2, Waimuli Timur mengatakan bahwa dirinya juga belum mendapat kabar apakah ada kelanjutan atau tidak mengenai hunian untuk mereka. “Masa kita di sini mau ngungsi aja, Kami ingin bangunan yang jelas. Terserah mau dibangun di mana, kalau mau di bawah, ya di bawah lagi. Kalau mau di sini, ya di sini,” katanya. Sebagai nelayan, Suhendi mengatakan bahwa hidupnya bergantung hasil yang didapat saat melaut. Untuk itu, Ia pun meminta pemerintah memberikan sedikit modal agar warga yang memiliki profesi serupa bisa bekerja lagi. “Kalau yang punya lahan mah enak, tinggal tanam, nunggu panen. Kami yang menggantungkan nasib di laut ini mau gimana. Tidak punya modal, sedangkan membuat satu perahu itu butuh biaya seidkitnya Rp4 juta,” katanya. Warga yang mengungsi di sini juga mengalami permasalah ekonomi. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang meminta bantuan pemerintah agar diberi kesempatan bekerja. Seperti yang dikatakan Uun (29), warga dusun 1, Desa Waimuli Timur ini mengaku tak tahu sampai kapan sanggup bertahan tinggal di pengu7ngsian dengan kondisi yang seadanya. “Alhamdulillah, mas. Kalau urusan makan, kamis elalu terpenuhi, tidak pernah kekurangan. Tapi apa cukup mau makan saja, tidak kan. Kami harus memikirkan masa depan anak-anak kami, kami harus bekerja untuk mereka. Seharusnya pemerintah tahu apa yang kami alami, tahu apa yang kami rasakan,” katanya. Sekretaris Desa Waimuli Timur, Darwin, mengatakan bahwa 78 KK yang mengungsi merupakan data terbaru. Meski begitu, Darwin mengatakan ihwal adanya penambahan jumlah warga di tenda pengungsian. “Kemungkinan bertambah. Sebab, masih ada warga Desa yang dirawat di rumah sakit Bob Bazar Kalianda,” katanya. Warga di pengungsian ini menyerahkan kehidupan mereka sepenuhnya kepada pemerintah. Mereka berharap pemerintah bisa memberikan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pekerjaan. Khususnya bagi pengungsi yang kehilangan harta benda dan sanak keluarga. (rnd)

Sumber: