Kemenag RI Kepincut Hikayat Rakyat Lamsel

Kemenag RI Kepincut Hikayat Rakyat Lamsel

Ungkap Proyeksi Ensiklopedia saat Kunjungi Graha Pena Lamsel

KALIANDA – Cerita yang terkandung dalam dongeng maupun hikayat dari Lampung Selatan menarik perhatian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) lektur, khazanah keagamaan Kemenag RI. Sangking menariknya, sampai-sampai Kantor yang berkedudukan di Jl. Mh Thamrin lantai 20 Jakarta Pusat itu, mengirim utusan untuk mencari seorang Rudi Suhaimi yang dikenal lewat dongeng-dongeng lokalnya. Karya mantan wartawan yang kini menjadi Dirut DBFM 93.0 Kalianda itu dianggap mengandung pesan-pesan religiusitas dalam tiap tutur ceritanya. Puslitbang Lektur Bagian Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi Bandiklat Kemenag RI, Ahmad Yunani mengatakan bahwa kunjungannya ke Lampung bertujuan untuk mencari penulis yang masih merawat cerita-cerita seperti kisah, Syeh Dapur, Si Pahit Lidah hingga kisah batu melukkup. “ Kemenag dalam hal ini Puslitbang Lektur berencana mengumpulkan semua hikayat se-nusantara yang mengandung pesan-pesan religi dalam ceritanya, untuk dijadikan ensiklopedia. Tujuannya agar cerita-cerita itu tetap terjaga dan tidak hilang dalam budaya kita,” kata Yunan sapaan Ahmad Yunani saat berkunjung ke Graha Pena Lamsel (Markas Radar Lamsel group), Kamis (18/7). Misi terbesarnya datang ke Lampung, ingin bertemu Rudi Suhaimi. Menurutnya karya-karya Rudi Suhaimi itu mencuri perhatian dan patut untuk dijaga. “ Saya datang ke Bandar Lampung, keliling toko buku serta mengunjungi pusat bahasa disana. Tetapi tidak menemukan bentuk fisik berupa lektur karya beliau, sampai akhirnya saya memutuskan untuk mencari orangnya ke Kalianda, karena informasi yang saya tangkap sosok itu ada di Kalianda,” ungkap Yunan. Lalu mengapa justru Kemenag yang mengutarakan semangat ini ketimbang instansi atau lembaga pemerintahan lainnya? Yunan menjelaskan bahwasanya lektur keagamamaan kita akan hilang bila tidak ada yang merawat dan mendokumentasikan. Sebab lektur dunia acap lebih populer ketimbang karya-karya lokal. Untuk itu mesti ada sinergisitas oleh pihak-pihak yang peduli akan hal ini. Menanggapi itu, Rudi Suhaimi membenarkan bahwa karya-karyanya memang sering dibaca orang luar ketimbang dibaca oleh orang lokal. Keaktifannya menulis dongeng sempat dikenal oleh pusat, ia juga sempat dipercaya untuk mengemban misi dongeng masuk sekolah. Namun mantan wartawan Lampung Post ini mengakui kelemahannya yang tidak mengumpulkan karya-karya tersebut. Hingga saat ini, Bang Rudi sapaannya, hanya memegang beberapa buah buku yang dicetak terbatas. Itupun bentuk fisiknya banyak dipinjam. “ Ada satu buku saya kumpulan dongen, tapi dipinjam untuk kepentingan seni budaya. Memang saya akui, saya lemah dalam mendokumentasikan karya-karya tersebut, apalagi saat ini kita dihadapkan dengan digitalisasi yang tak bisa dielakkan,” sebut dia. Rudi melanjutkan, kisah-kisah lokal macam ini terancam hilang dalam beberapa tahun kedepan. Penyebabnya, kurangnya kepedulian terhadap literatur lokal. Padahal sambungnya, kebijakan pemerintah melalui Dinas Pendidikan ataupun Dinas Pariwisata dapat mencegah semua itu. “ Peran pemerintah daerah itu sangat berpengaruh besar. Tetapi sayangnya mereka tak konsen disitu, kalau mereka jeli, cerita-cerita lokal itu bisa diimplementasikan dalam pendidikan dengan kemasan Muatan Lokal (Mulok) atau bisa juga dikemas untuk mengenalkan pariwisata. Sayangnya mereka lebih condong ke proyek fisik ketimbang proyek literasi,” sebut Rudi. Output dari bincang-bincang perihal lektur tersebut sejatinya mengarah pada tata cara melestarikan adat budaya yang tak lepas dari khazanah keislaman. Menurut keduanya konsep-konsep ilahiyah yang terkandung dalam hikayat lokal sudah ada sejak peradaban ini dimulai, dan itu perlu dirawat. (ver)

Sumber: