WALHI Minta Penyedotan Pasir Dihentikan
Surat Izin Terbit Di era Ridho dan Rycko
RAJABASA – Rencana penyedotan pasir oleh PT. LIP di sekitar Gunung Anak Krakatau (GAK) dan pulau Sebesi, memicu perhatian publik Kabupaten Lampung Selatan. Bahkan, taksedikit masyarakat yang turut mengecam tindakan yang diduga bisa merusak ekosistem laut di wilayah itu. Diterbitkannya izin PT. LIP pun menimbulkan pertanyaan. Siapa pihak yang ada di balik perizinan kapal tongkang itu. Radar Lamsel memperoleh dokumen perizinan yang dikeluarkan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Daerah (BPMPPTD) Provinsi Lampung untuk PT. LIP. Dalam izin itu, tertera sejumlah nama pemimpin daerah dalam keterangan dimasukkan dalam tembusan. Selain nama M. Ridho Ficardo, Gubernur Lampung Saat itu, rupanya, ada tembusan juga untuk Bupati Lampung Selatan. Kabarnya, izin yang keluar pada 26 Maret 2015 tersebut hadir di rezim bupati saat itu, yakni Rycko Menoza. Untuk membenarkan kabar tersebut, Radar Lamsel mengonfirmasi Budi Harto HN, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Daerah Provinsi Lampung. Kepada Radar Lamsel, Budi Harto mengakui jika izin itu dikeluarkan saat dirinya menjabat sebagai Kepala BPMPPTD Provinsi Lampung. Namun, Budi Harto mengaku lupa siapa pemimpin Kabupaten Lampung Selatan ketika izin itu dikeluarkan. “Saya jadi Kadis. Lupa saya, lihat saja, tahun berapa itu. Sudah 5 tahun yang lalu,” katanya kepada Radar Lamsel, Minggu (19) kemarin. Mengenai izin itu, Budi Harto juga lupa sampai kapan batas waktunya. Apakah sudah selesai, atau belum. Budi Harto juga tak mengetahui secara persis apakah izin yang dikeluarkan pada tahun 2015 itu menyalahi aturan atau tidak. Soal teknisnya, Budi Harto mengatakan jika hal itu urusan di bagian Pertambangan. Yang jelas, kata Budi Harto, Ia tidak akan menandatangani bila pelbagai urusan izin belum terpenuhi. “Untuk teknisnya, lokasinya, berapa derajatnya, dan lain-lain, coba koordinasi dengan Pertambangan. Karena mereka yang tahu persis untuk teknisnya. Saya akan tanda tangan setelah clear dari mereka. Enggak mungkin saya akan tanda tangan bila masih belum clear,” katanya. Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Kabupaten Lampung Selatan, Feri Bastian, menegaskan bahwa semua perizinan yang dimiliki oleh PT. LIP dikeluarkan Pemerintah Provinsi Lampung. Termasuk AMDAL-nya (analisi dampak lingkungan). Kabupaten, kata Feri, tidak memiliki kewenangan untuk semua legalitas sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. “Ya, karena jarak –12 mil itu kewenangan Pemerintah Provinsi Lampung. Sama sekali, tidak pernah diberi tahu (rencana penyedotan pasir). Kewenangan kami hanya daratan,” katanya. Informasinya, kapal tongkang milik PT. LIP itu telah meninggalkan wilayah perairan pulau Sebesi sejak Kamis (29/8) pekan lalu. Ini setelah masyarakat pulau Sebesi mendatangi kapal itu di tengah laut. Kedatangan warga ini untuk memastikan bahwa kapal itu beroperasi atau tidak. Taklama, kapal itu pun langsung meninggalkan wilayah perairan Sebesi. Sementara itu, WALHI Lampung dan LSM Pelita Lamsel, masih berada di pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa. Setelah beberapa hari di sana, WALHI dan LSM Pelita belum menemukan bukti jika ada penyedotan pasir di kawasan GAK, atau di perairan luar GAK yang dilakukan oleh kapal tongkang milik PT. LIP. “Ya, hasilni belum ada bukti bahwa kapal itu telah melaksanakan. Tapi warga pulau Sebesi sepakat menolak segala bentuk aktivitas pertambangan laut di wilayah perairan Lampung, khususnya di sekitar Sebesi, Sebuku, GAK, dan Selat Sunda,” kata Direktur WALHI Lampung, Irfan Tri Musri, kemarin. Irfan juga menanggapi keterangan dari Budi Harto, yang terkesan buang badan. Irfan mengakui masalah teknis bukanlah urusan BPMPPTD. Sebab, rekom izin dikeluarkan oleh Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Provinsi Lampung. “Tapi, dia pasti tahu izin-izin apa saja yang diteken,” katanya. Irfan mengatakan telah menyiapkan langkah agar penyedotan pasir di sekitar wilayah GAK dan pulau Sebesi takterjadi. WALHI Lampung, kata dia, akan menyurati Gubernur Lampung, Ir. Arinal Djunaidi, untuk mengevaluasi dan mencabut IUP-OP (Izin Usaha Pertambangan-Operasi Produksi) PT. LIP di Kabupaten Lampung Selatan. “Segera. Andai kata gubernur tidak menanggapi, kami akan gugat melalui PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” ucapnya. Diberitakan sebelumnya, masyarakat Desa Tejang Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa menolak rencana PT. Lautan Indonesia Persada(LIP) yang ingin menyedot pasir di sekitar wilayah GAK dan pulau Sebesi. Penolakan ini disampaikan warga secara tegas. Ironisnya PT.LIP dikabarkan sudah drop tongkang lebih dulu sebelum mensosialisasikan rencana bisnis pertambangan yang diyikin masyarakat sebagai bisnis menjanjikan sekaligus berdampak buruk bagi ekosistem alam. Dalam sosialisasi itu, perwakilan PT. LIP, yakni Stefan, dan Mario menjelaskan jika penyedotan pasir di antara pulau Sebesi dan GAK tidak berdekatan. Jarak penyedotan pasir itu sekitar 7-10 mil dari wilayah Sebesi dan GAK. Dua orang ini juga menyatakan tentang perizinan PT. LIP yang diklaim sudah lengkap. Stefan menyatakan pihak perusahaan pun akan bertanggung jawab jika dalam penyedotan pasir itu menimbulkan kerasakan terhadap ekosistem laut, seperti terumbu karang dan sebagainya. Steven juga tak segan mengatakan bila perusahaannya akan membantu masyarakat pulau Sebesi melalui CSR (Corporate Socail Responsibility). Lebih lanjut, Stefan mengatakan bahwa pasir yang disedot akan diantar ke daerah Subang, Jawa Barat, untuk keperluan pembangunan infarstruktur dermaga. Sementara itu, Mario, menjelaskan bahwa area yang akan dijadikan lokasi penyedot pasir memiliki luas 1.000 hektar. Usai mendengar penyampaian dari PT. LIP, sebanyak 40 warga yang hadir diberikan waktu untuk mengemukakan pendapatnya. Setelah berembuk, warga sepakat menolak keberadaan tambang pasir atau penyedotan pasir di wilayah tersebut. Namun sayang, tidak ada pejabat dari Kecamatan Rajabasa, ataupun kabupaten yang hadir dalam sosialisasi ini. Penolakan ini disambut baik oleh LSM Peduli Wisata (Pelita) Lamsel yang sepakat dengan keberadaan tambang pasir oleh PT. LIP. Di sisi lain, Direktur WALHI Lampung menyatakan wajar bila rencana pertambangannya pasir yang akan dilakukan oleh PT. LIP ditolak oleh masyarakat Desa Tejang Pulau Sebesi. Selain merusak ekosistem laut, administrasi izin yang dimiliki PT. LIP dianggap menyalahi aturan yang berlaku. Perusahaan itu memperoleh izin operasi produksi dikeluarkan tahun 2015, seluas 1.000 hektar. Izin ini disebut melanggar aturan karena dalam Undang-Undang No. 1 tahun 2014 bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah pusat tidak bisa mengeluarkan izin selain izin pembangunan pelabuhan oleh pemerintah sampai dengan pemerintah provinsi memiliki perda pengelolaan wilayah pesisir. “Padahal, perda (peraturan daerah) pengelolaan disahkan pada tahun 2018. Tapi di tahun (2015) itu, kok sudah dikeluarkan,” kata Irfan. Andai kata PT. LIP berkamuflase untuk mengajukan izin baru, hal itu tetap tak bisa dilakukan. Karena, kata Irfan, semua izin pertambangan laut sudah dihapuskan. Pria asal Desa Kelau, Kecamatan Penengahan ini juga menyoroti jarak pertambangan pasir PT. LIP yang berjarak 7-10 mil. Menurut Irfan, hal itu menyalahi aturan. Dari segi apapun, Irfan menilai rencana pertambangan atau penyedotan pasir oleh PT. LIP tetap akan menyalahi aturan. Seperti apapun modusnya. “Dari 0 sampai dengan 12 mil, tidak boleh ada penyedotan atau pertambangan pasir di dalam jarak itu. Jika 13 mil, boleh saja. Jadi kalau nanti mereka (PT. LIP) mengajukan (izin lagi), terus ada izin, berarti melanggar. Sekarang, siapa yang bisa memastikan bahwa mereka tidak menyedot pasir di Krakatau,” katanya. (rnd)Sumber: