Dilaporkan ke Kejaksaan, Kades Rajabasa Tidak Diam
KALIANDA - Kelompok yang mengatasnamakan pemuda Desa Rajabasa melaporkan Kepala Desa Rajabasa, Hermansyah HR. ke Kejaksaan Negeri Lampung Selatan. Laporan yang disampaikan kepada Korps Adhyaksa pada Kamis (11/2/2021) pekan lalu, memuat tentang penyalaan narkoba jenis sabu, serta kejanggalan penggunaan dana desa (DD) tahun 2019 dan 2020. Radar Lamsel menerima fotokopi surat tersebut. Laporan penyalahgunaan narkoba itu merujuk pada sebuah foto yang beredar di media sosial, terkait seorang kepala desa, yaitu Hermansyah HR. yang sedang menghisap sabu. Foto yang beredar tersebut membuat masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan pemuda Desa Rajabasa, tidak ingin lagi dipimpin oleh Hermansyah. Dalam surat itu pula, warga menilai hal itu akan memberi dampak yang tidak baik bagi generasi muda, dan anak-anak. Warga juga tidak ingin Desa Rajabasa dicap sebagai desa narkoba. Oleh sebab itu, warga bersama tokoh-tokoh Desa Rajabasa meminta Bupati Lampung Selatan, H. Nanang Ermanto, memberhentikan dan mencabut SK Kepala Desa Hermansyah HR. Warga juga melaporkan penggunaan DD tahun 2019 dan 2020 yang tidak transparan dan banyak kejanggalan. Kejaksaan Negeri Lampung Selatan diminta menindaktegas Hermansyah atas pengguna dana desa. Beberapa kejanggalan yang ditemukan masyarakat pada penggunaan DD tahun 2019, misalnya, HOK (hari orang kerja) RAB (rencana anggaran biaya) tidak sepenuhnya direalisasikan dengan pekerja. Kemudian kelebihan material digunakan bukan untuk membangun sesuai dengan RAB yang ada. Jambanisasi juga direalisasikan tidak sesuai RAB. Realisasi sewa mesin molen tidak masuk dalam pendapatan desa. BUMDes vakum sejak akhir tahun 2019 sampai saat ini, dan modal beserta aset-aset BUMDes tidak jelas. Sedangkan DD tahun 2020 terdapat 12 poin laporan yang disampaikan ke Kejaksaaan. Di antaranya, Hermansyah HR. diduga memperkaya diri. Mosi tidak percaya dengan ketua BPD yang tidak sesuai dengan tupoksinya sebagai perwakilan masyarakat desa. Besarnya HOK RAB tidak sepenuhnya direalisasikan dengan pekerja. Penggunaan dana SILPA tahun 2019 dan 2020 tidak transparan. Tidak melalui proses musyawarah dengan masyarakat desa. Bantuan BLT DD maupun yang terkait Covid-19 tidak transparan pelaksanaannya. Terkesan tumpang tindih penerima, serta mengutamakan keluarga dan kerabat dekat. Selanjutnya, penjaringan dan pengangkatan kadus 1, dan kadus 2, tidak memenuhi syarat minimal pendidikan dan usia sesuai dengan aturan yang ada. Pengangkatan sekretariat desa tidak sesuai aturan karena merangkap jabatan sebagai pendamping. Aparatur desa direkrut dari kalangan keluarga Hermansyah. Bantuan ringan korban tsunami sebesar Rp10 juta yang menyasar 2 penerima, yaitu Agus Efendi, dan Basri Hasan, tidak tepat sasaran. Diduga ada pungli, penarikan duit sebesar Rp50 ribu kepada korban tsunami penerima hunian tetap (huntap). Insentif RT 07, Ahmad Hasan, yang seharusnya menerima 3 bulan, tetapi hanya direalisasikan 2 bulan. Terakhir, Hermansyah diduga menampung kendaraan bodong. Berdasarkan hasil-hasil investigasi itu, masyarakat meminta pemerintah maupun pihak berwajib menindaklanjuti laporan tersebut. Auliya Aslam, Tokoh Pemud Desa Rajabasa, mengatakan laporan itu berdasar dari yang mereka lihat, dan fakta di lapangan. Auliya menyebut BPD Rajabasa tidak sesuai dengan fungsinya. “Seharusnya mereka adalah perwakilan masyarakat, tapi tidak dengan BPD di desa kami,” katanya saat dihubungi Radar Lamsel, Minggu (14/2/2021). Karena alasan itu, Auliya mengatakan pihaknya juga meminta Hermansyah merombak anggota BPD. Mosi tidak percaya pin dilayangkan kepada ketua BPD, yang notabenenya adalah keponakan Hermansyah. Sementara istri salah satu anggota BPD Rajabasa menjadi salah satu aparat desa setempat. Bahkan, adik Ketua BPD juga menjadi salah satu aparat desa. Auliya juga menyoroti kekayaan Hermansyah selama menjadi kepala desa. Menurut Auliya, Hermansyah baru menerima insentif plus tunjangan yang baru berjalan selama 16 bulan. Tetapi, kekayaan Hermansyah dinilai sudah lewah. Sedangkan Hermansyah sendiri tidak memiliki pekerjaan lain selain kepala desa. Auliya menekankan Dimas dan instansi terkait mengaudit pendapatan Hermansyah. “Sudah punya mobil 2 unit, motor 2 unit, rumah sudah mulai direhab. Itu baru 16 bulan, kalau dihitung masih di bawah Rp100 juta. Tapi kekayaannya sudah lebih dari itu,” katanya. Terkait penyalahgunaan narkoba, Auliya menegaskan laporan itu bukan tanpa dasar. Sebab, ada salah satu warga yang siap menjadi saksi jika Hermansyah pernah mengkonsumsi sabu-sabu. Auliya mengatakan bahwa masyarakat Desa Rajabasa tidak ingin lagi dipimpin oleh kepala desa yang doyan nyabu. “Masyarakat tidak mau, apalagi vigur kepala desa yang pecandu. Untuk maslah DD, dan lain-lain, kami minta dari instansi yang terkait untuk audit langsung ke desa kami,” katanya. Saat dihubungi Radar Lamsel, Hermansyah mengatakan bahwa data-data realisasi ADD dan DD itu ada. Semua pelaksanaan dan pengelolaan sudah mendapat persetujuan dari BPD. Herman juga menyangkal tudingan warga yang menyebut dirinya melakukan pungli. Atau permainan apapun darinya untuk mengakomodir saudara maupun kerabat dekatnya. “Saya menyatakan itu benar warga Desa Rajabasa, dan BPBD menyetujui. Itu (bantuan) ke rekening mereka masing-masing. BLT DD yang tidak transparan kata siapa,” katanya. Hermansyah juga membantah jika dirinya pecandu narkoba. Menurutnya, tudingan itu tidak mendasar karena berbentuk foto. Lagi pula, kata Hermansyah, foto itu diambil pada 5 tahun lalu. Hermansyah berani menjalani tes urine untuk membuktikan kepada pihak yang menudingnya sebagai pecandu “Pecandu narkoba kata siapa, itu hanyalah sebuah foto. Lima tahun lalu. Saya tidak terima dikatakan itu, dan saya siap untuk tes urine,” katanya. Hermansyah meminta pihak-pihak yang melapor jangan semau-mau mengatasnamakan masyarakat. Menurut dia, laporan yang disampaikan ke Kejaksaaan penuh dengan kepentingan politik. Bahkan, Herman menyebut Auliya Aslam bukan warga Desa Rajabasa yang murni karena baru pindah dari Rawajitu, Kabupaten Tulang Bawang. Menurut Hermansyah, Auliya tidak tahu apa-apa soal desa. “Laporannya atas nama masyarakat, masyarakat yang mana. Ini kepentingan politik, jangankan ikut membangun, kumpul saja mereka tidak mau. Ending-nya memang mencari-cari. Semuanya saya siapkan, ada berita acaranya. Saya tidak akan tinggal diam,” katanya. Kepala Seksi Intelijen Kejari Lampung Selatan, Kunto Trihatmojo, S.H. mengaku belum menerima laporan tersebut. Dia akan mengeceknya terlebih dahulu. Meski demikian, Kunto mengatakan laporan yang menyangkut tentang persoalan transparansi DD, serta huntap bisa saja masuk ke bagian Intelijen maupun Pidana Khusus. Bahkan ke kepolisian. “Tergantung, narkobanya pasti polisi. Dana desanya bisa polisi, bisa kejaksaan,” katanya. (rnd)
Sumber: