Saksi ‘Pemberi Suap’ Tak Tahu Soal Ploting
Sidang Lanjutan Fee Proyek Dinas PUPR Lamsel
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan sembilan saksi, di persidangan suap fee proyek di Dinas PUPR Lampung Selatan (Lamsel). Atas dua terdakwa Hermansyah Hamidi dan Syahroni. Namun, dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Tanjungkarang, Bandarlampung, pada Rabu (14/4) itu, hanya lima saksi yang hadir. Kelima saksi yang hadir tersebut yakni Irfan Nuranda Jafar Komisaris PT Bumi Lampung Persada atau mantan Plt Ketua DPW PAN Lampung. Lalu Adi Gunawan Direktur PT Asmi Hidayat atau Wakil Direktur PT Zaza Mandiri, Cik Ali Salim Komisaris PT Bumi Berkah Prioritas. Dan saksi lainnya yakni, Entis Sutisna Direktur PT Desna Rapih dan Rudi Darianto alias Aceng Direktur PT Rudi Karya Langgeng atau Direktur PT Menggala Wira Utama. Didalam persidangan itu, empat saksi yang tak hadir beralasan masing-masing. Malah ada juga saksi yang tak memberi konfirmasi ke pihak JPU KPK. Keempat saksi yang tak hadir tersebut yakni: Suhadi, Ikhsan Nurjanah, Bobby Zulhaidir, dan Hengki Widodo alias Engsit. Dalam keterangan JPU KPK Taufiq Ibnugroho bahwa, untuk saksi yang tak hadir seperti Suhadi dan Ikhsan Nurjanah tidak memberikan keterangan. Sedangkan Bobby Zulhaidir ketinggalan pesawat. Sehingga meminta jadwal ulang. \"Untuk saksi Hengki Widodo alias Engsit PT URM tidak hadir karena sakit dengan dilampirkan surat pengantar dokter,\" pungkasnya. Sebelumnya, Taufiq mengatakan nama-nama saksi yang akan dihadirkan dalam sidang lanjutan fee proyek Dinas PUPR Lampung Selatan itu masih tergolong pemberi suap. “Yang pasti, saksi yang dihadirkan itu masih tergolong pemberi suap,\" kata dia. Di persidangan lanjutan fee proyek di Dinas PUPR Kab. Lampung Selatan (Lamsel), atas terdakwa Hermansyah Hamidi dan Syahroni, pada Rabu (14/4), terungkap bahwa terdakwa Hermansyah Hamidi sempat ingin ada niat meminta bantuan kepada salah satu oknum makelar kasus. Hal itu bertujuan agar dirinya tidak ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu terungkap ketika salah satu saksi: Irfan Nuranda Jafar mantan Plt Ketua DPW PAN Lampung, bahwa dirinya menjelaskan oknum makelar kasus (Markus) tersebut mematok harga Rp3 miliar, agar terdakwa Hermansyah Hamidi tak menjadi tersangka dalam perkara suap fee proyek tersebut. \"Ya pada saat itu tahun 2020 bulan September, saya didatangi oleh terdakwa (Hermansyah Hamidi). Dia datang kerumah saya. Disitu beliau mau ingin mencari nasehat. Ya mungkin karena saya ketua partai makanya bisa meringankan beban beliau,\" katanya. Mendapati penjelasan dari Irfan itu, JPU KPK Taufiq Ibnugroho bertanya ke dirinya apakah kedatangan Hermansyah untuk mengurus agar dirinya tidak menjadi tersangka. \"Coba dijelaskan secara detil,\" kata JPU KPK Taufiq. Mendengar adanya pertanyaan itu, Irfan menjelaskan lagi bahwa, dirinya sebelumnya sempat dihubungi oleh Slamet dan Suhadi orang Pekalongan. \"Waktu itu beliau menawarkan untuk mengenalkan Hermansyah, mau enggak dibantu agar tidak menjadi tersangka,\" kata Irfan. Dalam hal itu, kedua orang tersebut lanjut Irfan, terus meyakinkan bisa membantu Hermansyah Hamidi. Dan keduanya mempunyai akses ataupun \'channel\' ke dalam KPK. \"Nah Slamet pernah menemui saya dengan Agung orangnya yang bisa ngurus ke KPK. Tetapi saya pun sadar ini nanti malah menyusahkan dan enggak ada solusi. Makanya saya enggak lanjutkan,\" bebernya. Menurut Irfan lagi, yang dimaksud Agung tersebut nama kepanjangannya Oki Agung Prasetiyono. Mengaku sebagai orang BIN (Badan Intelijen Negara). \"Termasuk ke Ikhsan Nurjanah,\" jelasnya. Irfan menambahkan, awalnya para markus tersebut meminta sejumlah uang sebesar Rp3 miliar. Namun, turun menjadi Rp1 miliar. \"Ya awalnya kami pikir sebagai pertemanan. Adalah sedikit. Namun ada permintaan besar, maka kami enggak sanggup,\" tegasnya. Lanjut dia, waktu itu dirinya dihubungi oleh Slamet. Dimana disitu dirinya diminta untuk datang ke Kantor PT Mitra Energi. \"Katanya disana ada Agung. Saya ngobrol dan bilang ini barang enggak jelas,\" pungkasnya. Komisaris PT Bumi Lampung Persada ini menjelaskan, bahwa dirinya ikut di ploting oleh Hermansyah Hamidi. Dirinya dengan Hermansyah merupakan teman sekolah. \"Nah kalau Syahroni ini saya kenal ketika Zainudin Hasan masih menjabat sebagai Bupati Lamsel,\" katanya, Rabu (14/4). Irfan menjelaskan, bahwa dirinya kenal dengan Syahroni ketika adanya pelantikan Bupati Lamsel dirumah dinas. \"Ya kami datang mengucapkan memberi selamat saja. Juga silaturahmi dengan beliau. Apalagi kan saya ini dengan beliau (Zainudin Hasan) satu kepengurusan partai,\" kata dia. Namun kata Irfan, walaupun dirinya dekat dengan dua sosok penting yang kini telah menjadi terdakwa maupun terpidana, suap fee proyek di Dinas PUPR Lamsel itu, dirinya tak mengetahui apabila perusahaan yang ia pimpin sempat di ploting untuk mendapatkan proyek. \"Saya tahunya ketika dilakukan pemeriksaan di Mako Brimob Polda Lampung. Ya saya tanya ke direktur kami (Erwan), kami benar dapat pekerjaan,\" ucapnya. Menurut Irfan, ketika itu Direktur PT Bumi Lampung Persada menyerahkan sejumlah fee proyek sebesar Rp750 juta. \"Tapi saya enggak tahu uangnya diserahkan kemana,\" ungkap dia. Sementara itu, salah satu saksi Adi Gunawan yang merupakan Direktur PT Asmi Hidayat menjelaskan apabila tak ada fee yang dirinya serahkan ke pihak Anjar Asmara. Menurutnya, uang yang dijelaskan di BAP miliknya sebesar Rp250 juta itu melalui terdakwa Syahroni adalah hutangnya. Namun, dirinya tak menampik apabila juga mendapatkan pekerjaan di tahun 2018. \"Pekerjaan yang saya dapatkan terkait rehab Masjid Kalianda. Dengan nilai pagu Rp10 miliar. Saya pakai PT Azmi Jaya. Terus ada lagi pekerjaan Gedung BPKAD Rp3 miliar. Pakai PT Zaza Mandiri. Pun sama mengerjakan pagar masjid nilai pagu Rp900 juta pakai CV. Mogasek,\" katanya. Lalu terkait pengerjaan Gedung BANGGAR DPRD Lampung Selatan (Lamsel) senilai Rp900 juta, dirinya tak mengetahui. \"Saya ingat saat itu saya dicari Anjar Asmara ditawarkan pekerjaan pembangunan masjid. Anggarannya Rp10 miliar. Itu perintah bupati (Zainudin Hasan),\" kata dia. Namun kata dia, menolak tawaran pekerjaan itu karena perusahaan yang tengah mengerjakan rumah Bupati akan meneruskan pekerjaan itu. \"Ya karena enggak respek jadi bupati cari yang lain. Saya dapat omongan itu dari kawan. Saya enggak mau ada keributan seolah pekerjaan itu saya rampas. Disitu Anjar masih meyakini saya. Dia bilang paketnya aman,\" jelas dia. Mendapati penjelasan itu, JPU KPK Taufiq Ibnugroho pun tak mempercayai penjelasan Adi begitu saja. Karena menurut Taufiq apabila terkait plotingan itu sudah bukan rahasia umum lagi apabila ada fee nya. \"Apakah plotingan anda besar. Pagunya Rp27 miliar,\" tanya Taufiq. Kembali, Adi pun menjawab apabila dirinya tak tahu mengenai adanya plotingan itu. \"Saya cuma diminta bantu saja. Saya bilang kalau gedung ini mau dibangun jangan ada fee. Kalau uang Rp250 juta itu untuk operasional THR. Dimana pada saat itu Bupati sedang ke Jakarta Anjar dikejar kejar,\" ungkap dia.(ang/rnn/red)Sumber: