Kerusakan Lingkungan Dibalik Waterbreak
Kewenangan Terbatas Buat Pemkab tak Berkutik
KALIANDA – PT. Basuki Rahmanta Putra (BRP) yang merupakan rekanan pembangunan waterbreak (tanggul penahan ombak) di kawasan pesisir Kecamatan Rajabasa, terancam pidana. Pasalnya, dalam praktek pengerjaan proyek pemerintah perusahaan tersebut terbukti menggunakan material ilegal. Kepastian tersebut ditegaskan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Lamsel, Feri Bastian. Menurutnya, kisruh soal pembangunan breakwater di kawasan pesisir pantai Kecamatan Rajabasa sudah mencuat sejak dua bulan silam. Khususnya, mengenai sumber material yang digunakan untuk pembangunan tanggul penahan ombak tersebut. “Ya, kami juga sudah pernah melihat langsung ke lapangan. Tetapi, disini kami hanya melakukan apa yang menjadi tugas Dinas Lingkungan Hidup. Tidak lebih,” ungkap Feri saat dikonfirmasi Radar Lamsel, Rabu (28/4) kemarin. Hasil pemantauan dilapangan, kata Feri, banyak terjadi pengrusakan lingkungan akibat penambangan batu andesit yang digunakan untuk material. Namun, keterbatasan kewenangan daerah membuat DLH tidak bisa berbuat banyak atas eksploitasi tersebut. “Kan sekarang semuanya ada di Provinsi, bukan di kabupaten lagi. Jadi, yang kami lihat dilapangan saat ini memang benar terjadi pengrusakan lingkungan. Dampaknya adalah pencemaran udara dan lingkungan yang kotor,” katanya. Dia menjelaskan, aktifitas pengerukan lahan untuk diambil material batu masuk dalam kategori penambangan. Maka, setiap perusahaan tambang wajib melengkapi berbagai dokumen perizinan. “Selain perusahaannya wajib memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), dia juga harus mendapatkan izin menambang di lokasi itu. Atau dalam sebutannya Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Pasti jarang mereka mengurus WIUP itu. Paling hanya izin di lingkungan sekitar diketahui oleh Kepala Desa saja,” terangnya. Lebih lanjut dia menyatakan, setiap perusahaan yang melakukan pembangunan dengan menggunakan material ilegal terancam dipidana. Hal tersebut telah diatur dalam undang-undang nomor 04 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral dan batu bara (minerba). “Tapi sekarang undang-undang itu masih direvisi. Masuknya di Omnibuslaw 2020 kalau tidak salah. Masalah ini juga saya dengar banyak yang melaporkannya dan dalam penyelidikan aparat kepolisian. Itu yang saya dengar sekarang dari Polda yang sudah turun terus,” tukasnya. Sementara itu, Kepala Bidang Perizinan DPMPTSP Lamsel, Pramudya Wardana belum bisa dimintai keterangan soal legalitas izin perusahaan tersebut. Terpisah, Kepala Bidang Pengawasan Perizinan DPMPTSP Lamsel, Rio Gismara menyebutkan, pihak yang berwenang urusan izin pertambangan adalah daerah tingkat I atau Provinsi. Namun, mekanisme nya tetap melalui rekomendasi tim BKPRD di tingkat kabupaten. “Kalau di kabupaten memang tidak ada lagi kewenangan untuk penerbitan izinnya. Paling hanya rekomendasi yang dikeluarkan lewat Tim BKPRD. Setelah itu dilanjutkan ke provinsi,” pungkasnya. Pembangunan waterbreak di wilayah Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan, oleh PT. Basuki Rahmanta Putra (BRP) sarat pelanggaran. Sejumlah aturan berkenaan dengan pertambangan dilewatkan. Selain material yang digunakan juga tidak berasal dari tambang resmi. Seyogyanya, dalam melakukan pembangunan tersebut PT. BRP menggunakan batu dari perusahaan tambang yang legal. Namun, faktanya perusahaan tersebut membeli material dari lahan warga yang berada di sekitar wilayah kerja. Seperti diketahui, dalam kegiatan tersebut PT. BRP telah menunjuk rekan kerja dari perusahaan legal yang disebut dengan Sub Kontraktor (Subkon). Hal tersebut memang dianjurkan dan tidak menyalahi aturan selama material yang digunakan keluar dari tambang galian C yang berizin. “Sah-sah saja pakai subkon. Tetapi, harus jelas perusahaannya. Kalau toh subkon itu membeli lahan batu milik warga ya harus di urus perizinan penambangannya. Dengan begitu daerah juga bisa ada pendapatan yang sah dari izin pertambangan itu,” ungkap sumber terpercaya Radar Lamsel yang minta namanya di rahasiakan, Selasa (27/4). (idh)Sumber: