Walhi Sorot Penambangan Dibalik Breakwater
KALIANDA – Berbagai dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh PT. Basuki Rahmantra Putra (BRP) dalam mengerjakan proyek breakwater di kawasan Pesisir, Kecamatan Rajabasa harus ditindak tegas oleh aparat berwenang. Salah satunya, dalam pembangunannya menggunakan material ilegal dari tambang bodong tak berizin. Warning keras ini disampaikan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Lampung, Irfan Tri Musri saat dimintai tanggapannya terkait polemik pembangunan tanggul penahan ombak (breakwater’red) di Kabupaten Lampung Selatan, Minggu (2/5) kemarin. Menurutnya, dugaan penggunaan material ilegal dalam pengerjaan breakwater itu harus menjadi perhatian lebih aparat yang berwenang. Mencuatnya berbagai dugaan tersebut, menjadi dasar awal petugas dalam melakukan penyelidikan untuk membuktikan kebenarannya di lapangan. “Fenomena munculnya tambang batu ilegal di Provinsi Lampung memang sangat banyak terjadi. Salah satunya di Lamsel dengan adanya proyek breakwater ini. Jadi, mulai dari Dinas ESDM Provinsi Lampung serta aparat kepolisian mempunyai kewenangan untuk melakukan pulbaket penyelidikan dan bahkan sampai dengan proses penyidikan,” tegas Irfan via sambungan telepon. Dia menerangkan, jika dalam penyidikan yang dilakukan terbukti melakukan aktivitas tambang ilegal maka pihak kontraktor terancam pidana. Yang telah diatur dalam undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan undang-undang nomor 4 tahun 2009, tentang pertambangan mineral dan batubara. “Dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 diatur bahwa bagi pemegang IUP dan IUPK yang izin usahanya dicabut atau berakhir tetapi tidak melaksanakan reklamasi/pascatambang atau tidak menempatkan dana jaminan reklamasi/pascatambang dapat dipidana paling lama 5 (lima) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100 miliar,” terangnya. Disamping itu, WALHI juga menyarankan agar pihak Kementerian PUPR dan Kontraktor pemenang tender pemerintahan harus jeli dalam memilih rekanan penyedia material. Jangan sampai, material yang disediakan untuk pembangunan proyek pemerintahan merupakan barang haram yang berasal dari pertambangan ilegal. “Ketika aktifitas tambangnya ilegal maka kami menyebutnya barang tambang yang dihasilkan adalah material haram. Disini kejelian dari pihak pemerintahan dalam hal ini Kementerian PUPR diuji. Kalau masih lolos artinya ada permainan disana antara penyedia barang, rekanan dan pihak Kementerian PUPR,” ketusnya. Selain ini, lanjut Irfan, koordinasi antara pihak pemerintahan secara berjenjang wajib dilakukan guna mengantisipasi maraknya penggunaan material haram tersebut. Sebab, sudah menjadi rahasia umum ketika terdapat suatu kegiatan dari pemerintah pusat maka jajaran pemerintahan di bawahnya acuh dan tak perduli. “Walaupun ini proyek Kementerian PUPR, harapan kami Pemkab Lamsel juga bisa melakukan intervensi dengan adanya dugaan penggunaan material ilegal ini. Jangan lepas tangan karena itu kegiatan dari pusat,” pungkasnya. Sebelumnya pernah diberitakan, PT. Basuki Rahmanta Putra (BRP) yang merupakan rekanan pembangunan (tanggul penahan ombak) di kawasan pesisir Kecamatan Rajabasa, terancam pidana. Pasalnya, dalam praktek pengerjaan proyek pemerintah perusahaan tersebut terbukti menggunakan material ilegal. Kepastian tersebut ditegaskan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Lamsel, Feri Bastian. Menurutnya, kisruh soal pembangunan breakwater di kawasan pesisir pantai Kecamatan Rajabasa sudah mencuat sejak dua bulan silam. Khususnya, mengenai sumber material yang digunakan untuk pembangunan tanggul penahan ombak tersebut. “Ya, kami juga sudah pernah melihat langsung ke lapangan. Tetapi, disini kami hanya melakukan apa yang menjadi tugas Dinas Lingkungan Hidup. Tidak lebih,” ungkap Feri saat dikonfirmasi Radar Lamsel, Rabu (28/4) lalu. (idh)
Sumber: