Kembali ke Misi
--
Tidaklah sulit memisahkan antara idealisme dan bisnis, yang sulit itu menyatukan keduanya berjalan selaras. Dan di situlah memang jebakannya.
Idealisme, sejak awal ditanamkan pada alam bawah sadar wartawan selalu memiliki dua sisi yang berseberangan untuk bisnis. Namun apa jadinya jika wartawan tidak ditanami ideologi.
Pernah satu ketika, teman lama bertanya. Katanya bagaimana bisa idealis kalau memikirkan bisnis? Saya terdiam. Memang di situlah jebakannya.
Setelah menarik nafas dalam-dalam saya lancarkan kalimat yang bersarang di kepala dalam waktu yang lama. “idealisme seseorang tak dapat digugat dari jiwa laki-laki yang rela mimpinya diinjak di depan mata demi keluarga”.
Mendengar jawaban itu teman lama tadi gantian terdiam. Suara seruputan kopi kapal hitam di cangkirnya terdengar nyaring dalam hening. Saya menduga dia pun demikian, telah lama mencari jawaban tepat atas pertanyaan yang lama mengganggu kepalanya.
Sepertinya kita semua harus mulai menghormati manusia dengan kerja-kerjanya. Wartawan dari bisnis medianya, buruh dari alat-alat produksinya. Petani dari tanahnya, nelayan dari lautnya. Guru dari pengetahuannya hingga seniman dari karya-karyanya.
Keegoisan melihat satu sudut pandang semata tidak dapat dibenarkan tanpa melihat sisi lainnya. Karena manusia harus bebas dari rasa takut ketika sedang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menghidupinya.
Pada akhirnya idealisme tetaplah idealisme. Bisnis juga tetaplah bisnis. Sejak jaman perjuangan keduanya kerap berpasang-pasangan. Barangkali laku ini membuat Radar Lamsel bertahan selama 17 tahun. Tak bisa hanya idealisme saja tanpa berbisnis, tak bisa berbisnis di surat kabar tanpa idealisme. Itu. (*)
Sumber: