Kenaikan Tarif PBB Didasari Ketetapan Angka Minimal

Kenaikan Tarif PBB Didasari Ketetapan Angka Minimal

KALIANDA – Dinas Pendapatan daerah (Dispenda) Lampung Selatan menyatakan, penetapan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dituliskan pada Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB tahun 2016, itu didasari oleh ketetapan angka minimal, dengan memperhatikan nilai diatas batas kewajaran. Pernyataan itu disampaikan Kepala Dispenda Lamsel Syamsurijal, kepada Radar Lamsel saat ditemui diruang kerjanya, Kamis (6/10) kemarin. Menurut Syamsurijal, kenaikan tarif PBB yang ditetapkan oleh Dispenda melalui Peraturan Bupati (Perbup) Lampung Selatan ini, dilakukan tanpa adanya penyesuaian dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dimiliki oleh masing-masing wajib pajak. “Ya kalau mengikuti aturan yang sebenarnya, penghitungan tarif PBB ini sementinya harus disesuaikan dengan nilai jual objek pajak (NJOP) yang sekarang ini. Coba kita perhatikan, dimana-mana harga jual tanah sekarang ini apa masih ada yang seharga Rp2.000 permeter, pasti diatas Rp100 ribu permeter,” terang Syamsurijal. Diungkapkannya, dengan adanya kenaikan tari PBB ini secara langsung sudah membantu masyarakat wajib pajak untuk bisa meningkatkan harga jual tanah dan bangunan yang dimiliki. Artinya, jika nilai PBB nya besar maka secara otomatis nilai jual objek pajak juga kan akan jadi meningkat. “Kalau boleh jujur, kami (Dispenda, red) menganalisa untuk menetapkan tarif PBB dengan angka minimimal ini membutuhkan waktu selama dua bulan. Jadi penetapan tarif PBB ini benar-benar dilakukan melalui pengkajian, bukannya asal tembak,” ungkapnya. Dikatakannya, tarif PBB senilai Rp2.000 hingga Rp6.000, itu sebenarnya ketetapan tarif ditahun 2004. Sementara, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retrebusi daerah dituliskan pada Pasal 155 ayat 1 berbunyi tarif retrebusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. Kemudian pada ayat  2 berbunyi peninjauan tarif retrebusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dari perkembangan perekonomian. Lalu pada ayat 3 berbunyi penetapan tarif retrebusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. “Kalau melihat undang-undang tersebut memang harus ada peninjauan tarif retrebusi setiap tiga tahun sekali. Tapi, mengingat penyerahan retrebusi PBB ke daerah (Dispenda Lamsel, red) dari pemerintah pusat baru di tahun 2014, maka kami belum bisa melakukan peninjauan ulang. Nanti, peninjauan tarif retrebusi PBB ini baru bisa dilakukan ditahun 2017 mendatang,” pungkasnya. (iwn)

Sumber: