Sapu Duyung Imam Rojali Mulai Mendunia

Sapu Duyung Imam Rojali Mulai Mendunia

Sempat terseok-seok mengumandangkan dan melestarikan tradisi lisan segata, Imam Rojali kini mulai menebar senyuman serta banjir orderan dari panggung ke panggung. Bagaimana kisah maestro gitar tunggal yang sempat terlupakan itu saat ini? berikut kisahnya. Laporan Veri Dial Ariyatama, SIDOMULYO. Kediaman Imam Rojali (46) maestro gitar tunggal asal Desa Sidomulyo Kecamatan Sidomulyo, tak banyak berubah. Cat kusam serta sofa buluk dengan lapisan kayu lebih terasa saat diduduki masih sama seperti saat Radar Lamsel mengunjungi kediamannya beberapa bulan lalu. Tapi ada yang berbeda dan menarik, hiasan serta pernak-pernik poster hingga koleksi album yang sempat digudangkan oleh sang Istri kini terpampang kembali memenuhi dinding-dinding kusam dirumah kecil tanpa flapon itu. Jas merah dan hanuang bani menyambut kedatangan Radar Lamsel, tak ketinggalan satu buah gitar yang menjadi senjata andalannya. Ya, sosok yang rapi dengan setilan necis itu adalah Imam Rojali pria Kelahiran Desa Babatan yang sudah mengoleski 13 album gitar tunggal yang merupakan kesenian daerah asal Lampung. Panggilan manggung dari panggung ke panggung kini dilahapnya tanpa ampun, tak seperti beberapa tahun silam, kini panggilan manggung kerap diterimanya. Bahkan rencananya seniman kawakan itu bakal kembali mentas di ibu kota menghadiri acara pernikahan anak dari Ketua MPR RI. “Alhamdulilah puakhi, panggilan manggung kini mulai saya terima perlahan namun pasti, meski bayaran kadang tak sesuai yang penting untuk makan anak istri tidak sesulit tahun lalu,” ujar dia saat ditemui Radar Lamsel dikediamannya, Kamis (26/1) kemarin. Pelantun tembang ‘sapu duyung’ itu mengungkpkan kegembiraannya karena pada November tahun lalu dirinya sempat tampil bersama musisi dari berbagai negara dalam Festival Dongeng Internasional di Museum Nasional Jakarta mewakili Indonesia serta mengharumkan nama Lampung tentunya. “Dengi pay wi puakhi nasibku didunia, mak dawah mak dabingi jaoh jak ulun tuha, tinggal pay pekon lamban adek bapak kaminan, kalau umokhku tijang natti juga nyak mulang,” penggalan bait lagu berjudul sapu duyung dilantunkan Imam Rojali seraya mengenang penampilannya di pentas Internasional kala itu. Cita-cita Imam Rojali yang sempat terhenti untuk terus mengusung dan melestarikan kesenian asli Lampung kini perlahan menemui titik terang. Lampung Selatan Fair hingga Festival Dongeng Internasional kini dilibasnya. Saat ditanya apakah makna yang terkandung dalam penggalan lagu sapu duyung tersebut. Rojali menjelaskan kisah rintihan seseorang yang jauh dari orang tua meninggalkan kampung halaman serta keluarga dan berharap umur panjang untuk bisa kembali pulang. “Lagu itulah yang saya bawakan saat mendongeng dihadapan seniman dari Korsel, Prancis, Inggris dan Jerman,” kata Rojali dengan bangga. Radar Lamsel tak lupa mengkritisi penampilan dirinya yang semakin nyentrik, tak seperti biasanya yang hanya memakai training dan baju batik dan sandal capit. Maestro yang menguasai 26 petikan gitar tunggal itu menjawab dengan santai serta bijak. “Kalau mau dihargai orang lain, kita hargai dulu diri kita sendiri, berpenampilan oke dan rapi. Masalah rezeki nanti menyusul,” ujar suami dari Walnjian itu. Musisi yang sempat menjual tanah untuk melestarikan kesenian gitar tunggal itu kini berharap dapat mendirikan teater kesenian agar kesenian macam sagata tidak punah begitu saja. menurutnya harus ada generasi penerus dalam konteks pelestarian kesenian daerah. “Keinginan saya hanya satu, dibantu pemerintah untuk mewujudkan atau mengadakan teater agar kesenian yang ribuan tahun umurnya ini bisa tetap lestari dari generasi ke generasi,” paparnya. Banyak pelajaran yang didapat dari seorang Imam Rojali, meski hidup susah namun kegigihan serta kecintaannya terhadap seni budaya Lampung, patut mendapat apresiasi. Redup dan terang pernah dirasakan namun satu hal yang dipegang teguh oleh seniman yang juga guru ngaji itu. “Hargai diri sendiri kalau mau dihargai orang lain,” tandasnya. (*)    

Sumber: