Eksistensi Guru Bahasa Lampung Kurang Dapat Perhatian

Eksistensi Guru Bahasa Lampung Kurang Dapat Perhatian

Pengajar Bahasa Lampung yang masuk kategori Muatan Lokal (Mulok) ternyata kurang diminati. Selain tidak dijamin mendapat sertifikasi, jumlah guru Bahasa Lampung di sejumlah wilayah patut diperhatikan baik dari segi kualitas juga kuantitas. Laporan VERI DIAL ARIYATAMA, SIDOMULYO. “Ka-ga-nga-pa-ba-ma-ta-da-na-ca-ja-nya-ya-a-la-ra-sa-wa-ha-gha” pelafalan aksara Lampung itu sayup-sayup terdengar dari salah satu SD di Sidomulyo. Eksistensi ‘ka-ga-nga’ memang tidak pernah pudar dari masa ke masa. Ketika Radar Lamsel menemui guru kelas yang merangkap guru Bahasa Lampung ini, ternyata nasib pelestari bahasa daerah itu tak seimbang dengan tuntutan untuk terus melestarikan aksara tersebut. Sebab tidak semua SD memiliki guru yang kompeten dan khatam soal mata pelajaran yang satu ini. Tak jarang, pengajar Bahasa Lampung justru dari suku dan adat yang berbeda seperti Yuyun (22) guru kelas II SDN 1 Sidorejo. Beruntung Yuyun paham dan bisa menjelaskan atas apa yang diajarkan olehnya. “Kalau guru kelas di sekolah SD, ya dituntut untuk menguasai semua mata pelajaran. Kecuali mata pelajaran Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes),” ujar Yuyun saat ditemui, kemarin. Yuyun sejatinya hanya bermodal nekad. Dirinya tidak pernah secara detail mempelajari Bahasa Lampung hingga jenjang perguruan tinggi. “Hanya semasa SD, SMP saya belajar dan kebetulan paham dengan tulisan dan pelafalan huruf, meski masih terbata-bata ketika berbicara bahasa Lampung,” beber dia. Sementara itu salah seorang mantan pengajar Bahasa Lampung yang tak mau dituliskan namanya bercerita kepada Radar Lamsel soal nasib serta perjalanan pengajar Bahasa Lampung dari tahun ke tahunnya. Pria yang sebentar lagi memasuki masa pensiunan sebagai guru ini mengaku miris terhadap Guru Bahasa Lampung. “Dari tahun 1970 saya sudah mengenal aksara lampung, juga sempat menjadi pengajar bahasa lampung. Tapi ya begitu, meski Lampung dikenal dengan keindahan pariwisata dan kekayaan budaya tapi tak berimbas pada guru Bahasa Lampung makin hari makin berkurang peminatnya,” kata sumber tersebut. Ketika bicara aksara Lampung seyogyanya meliputi seluruh Provinsi Lampung, bukan hanya Lampung Selatan saja. Hal ini patut mendapat perhatian ditengah gembar-gembor pariwisata dan kebudyaan yang otomatis juga berurusan soal pelestarian aksara. “Jangan salah kaprah, orang Lampung belum tentu bisa menulis aksara Lampung, walaupun sehari-harinya bicara dengan bahasa Lampung. Kalau begini kan sudah menjadi tugas Pemerintah Pusat untuk menempatkan mata Pelajaran Bahasa Lampung menjadi mata pelajaran Umum bukan lagi formalitas Mulok,” beber dia. Lebih lanjut dikatakan, jika tidak disikapi bukan tidak mungkin generasi penerus Lampung bakal kehilangan identitas. Dalam hal ini ‘aksara’ menjadi penting maknanya terutama bagi dunia pendidikan, kebudayaan hingga pariwisata. “Para pengajar bahasa lampung tidak bisa sertifikasi kecuali harus mengambil mata pelajaran lainnya. Jika hanya mengandalkan mata pelajaran Bahasa Lampung tidak akan menjamin. Apalagi masih menjadi guru honorer,” paparnya. Di ketahui, di Kecamatan Sidomulyo terdapat 35 SD dan 11 SMP. Para guru bahasa lampung saat ini hanya sebagai pelengkap saja. “Dulu sempat kami ajukan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) kepada Gubernur namun belum ACC,” ujar Paimin salah seorang Pengawas yang pernah terlibat dalam pembuatan SKKD Bahasa Lampung. Dijelaskannya, jika belum ada standardisasi mengenai mata pelajaran Bahasa Lampung, bisa dipastikan nasib pelestari bahasa itu akan sama dengan tahun-tahun belakangan. “Tergantung SKKD Kurikulumnya. Selama ini belum ada penetapan dan keputusan dari pemerintah soal Bahasa Lampung,” ujarnya.(*)

Sumber: