Penuhi Kebutuhan Keluarga dari Hasil Mengemis
Mulai dari pagi hingga petang, Syaifuddin (35) terpaksa mengemis di pasar Inpres Kalianda untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ini ia lakukan terpaksa karena keterbatasan fisik akibat penyakit polio yang menyerangnya sejak kecil. Bagaimana ceritanya?
Laporan Randi Pratama, Kalianda. Aktivitas jual beli di pasar Inpres Kalianda, Kamis (5/7) kemarin nampak berjalan seperti biasanya. Pemandangan kendaraan yang berlalu-lalang dan suara tawar menawar antar pedagang dan pembeli menghiasi setiap sudut pasar kebanggan masyarakat Kalianda ini. Ada banyak masyarakat dari luar Kalianda yang datang ke pasar ini, ada yang menggunakan kendaraan pribadi dan ada yang menggunakan transportasi umum. Bahkan ada pula yang berjalan kaki. Di balik riuhnya aktivitas di pasar ini, ada seorang pria yang mengalami cacat fisik, kulitnya sawo matang, dan berpeci. Kedatangannya ke pasar Inpres Kalianda bukan berbelanja, melainkan mencari nafkah dengan meminta belas kasihan dari mereka yang memiliki uang lebih. Adalah Syaifuddin (35), pria kelahiran Palas 1983 ini yang mengalami cacat fisik karena penyakit polio ini hampir tak pernah absen mengunjungi pasar Inpres Kalianda. Dia menjalani setiap harinya dengan berkeliling di sekitaran pasar untuk mengemis. Terik panas ia lewati, melangkah dengan menggunakan kedua tanggannya. Kakinya berfungsi sebagai penopang langkah. Dia datang ke pasar Inpres Kalianda dengan waktu tak tentu. Kadang pagi, kadang pula siang. Syaifuddin mengemis sampai pukul 17.00 WIB. Terkadang bisa sampai malam. Dia datang dengan menaiki angkutan, dan pulang menggunakan jasa ojek. Saat berbincang dengan Radar Lamsel, ketika berkeliling pasar, Syaifuddin mengaku ada saja orang-orang yang memberinya. Bahkan, ia tak segan berujar pernah mendapatkan penghasilan sebanyak Rp 300 ribu dari belas kasihan orang. “Tapi kadang juga tidak dapat sama sekali. Saya tidak tahu ini mengemis atau bukan, saya tidak meminta, saya hanya berjalan dan orang-orang memberi uang,” katanya kepada Radar Lamsel saat ditemui di lokasi penjualan buah di pasar Inpres Kalianda. Hasil dari mengemis, uangnya ia pergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan sekolah kedua anaknya, yakni Bayu (9) dan Kintan (10) yang masih duduk dibangku sekolah dasar (SD). Istrinya yang bernama Risna Amelia (40), hanya mengurus rumah tangga. “Uang yang saya dapat untuk keperluan makan dan sekolah anak-anak,” katanya. Syaifuddin menderita penyakit itu saat berusia 1 tahun. Syaifuddin mengaku pilu, karena saat menderita penyakit itu, ia ditinggal oleh kedua orang tuanya. Dia juga tak tahu apa alasan kedua orang tuanya hingga tak mau merawat dan mengobatinya. Sejak saat itu, Syaifuddin diasuh oleh neneknya. “Setelah menikah, saya hidup bersama keluarga saya,” ucapnya. Keterbatasan fisik membuat Syaifuddin tak bisa berbuat banyak, ia mengakui jika selama ini hidup atas belasan kasihan orang lain. Namun hal ini harus ia lakukan, karena Syaifuddin bertanggungjawab penuh atas kebutuhan keluarganya. “Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan untuk memenuhi kebutuhan, kecuali dengan cara seperti ini,” katanya. Sebelum mengemis siang dan malam, Syaifuddin mengatakan bahwa ia pernah menjalani profesi lain sebagai tukang service barang elektronik. Dia menjalani profesi ini selama 2 tahun. “Kalau malam saya service, siang tetap mengemis,” katanya. Saat itu, banyak konsumen yang menjadi langganannya. Namun sayang, profesi yang ia geluti selama 2 tahun itu terpaksa terhenti karena Syaifuddin mengalami kecelakaan, peristiwa itu menyebabkan kerusakan di bagian mata kanannya. Pesanan banyak, namun ia menolak. “Waktu itu banyak yang datang ke rumah, tapi saya tolak satu per satu. Mata saya rusak, tak bisa melihat dengan jelas, jadi saya berhenti,” katanya. Jika disuruh memilih, ia lebih memilih berprofesi sebagai tukang service barang elektronik. Namun hal itu tak mungkin dilakukan karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Disisi lain, setelah kecelakaan, ia kerap mendapat keluhan dari konsumen karena dianggap tak becus memperbaiki barang elektronik mereka. “Saya sudah sekuat tenaga, kalau mereka komplain, itulah batas kemampuan saya,” katanya. Dengan kondisi seperti itu, Syaifuddin sangat berharap pemerintah bisa memperhatikan nasibnya. Terutama soal tempat tinggal karena selama ini ia tinggal dengan mengontrak sebuah rumah di Desa Belambangan, Kecamatan Penengahan. “Saya hanya ingin tempat tinggal, karena kalau diberi pekerjaan, saya mau kerja apa. Kondisi saya seperti ini, terlalu banyak kekurangan,” ucapnya. (*)Sumber: