ODOL Dianggap Rugikan Negara Rp 43 Triliun

ODOL Dianggap Rugikan Negara Rp 43 Triliun

Terancam Tak Bisa Masuk Pelabuhan atau Denda Rp 24 Juta

BAKAUHENI – Kendaraan over dimension dan over loading (ODOL) dianggap sebagai beban. Sebab, kendaraan yang telah dimodifikasi sedemikan rupa, serta memuat beban berlebih ini disebut telah merugikan negara sebesar Rp43 triliun. Untuk memangkas kerugian itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat mengeluarkan aturan. ODOL dilarang memasuki pelabuhan penyeberangan Bakauheni–Merak berdasarkan Permenhub No. 103 Tahun 2017 tentang peraturan dan pengendalian kendaraan yang menggunakan jasa angkutan penyeberangan. Dan surat edaran Menhub Nomor 21 Tahun 2019 tentang pengawasan terhadap pelanggaran muatan lebih (over load)/atau pelanggaran ukuran lebih (over dimension). Agar dapat menggunakan jasa angkutan penyeberangan di pelabuhan, kendaraan harus mematuhi aturan. Kendaraan diminta patuh terhadap ketentuan berat muatan, kemudian menyesuaikan dimensi kendaraan dengan ketentuan rancang bangun, serta memperhatikan tata cara muatan di kendaraan. Kendaraan yang melanggar dapat dikenakan denda sebanyak Rp24 juta atau 1 tahun penjara. Pengusaha angkutan, pemilik barang, dan perusahaan karoseri juga bisa dipidana jika melanggar aturan tersebut. Meski banner aturan itu telah dikeluarkan pada 1 Februari lalu, namun pelaksanaannya urung dilakukan. Humas PT. ASDP, Syaifullail Maslul, mengatakan jika pelaksanaan aturan tersebut masih dikoordinasikan. “Dalam hal ini Kemenhub yang menjadi pelaksana, atau penindak di lapangan,” katanya saat dikonfirmasi Radar Lamsel, Selasa (4/2/2020). Pria yang akrab disapa Syaiful ini menyebut bahwa aturan terhadap ODOL dikendalikan penuh, dan menjadi kewenangan Kemenhub. Jadi, lanjut dia, penindakan dan pelaksanaan tugas bergantung pada Kemenhub. Termasuk sosialisasi kepada masyarakat. Sedangkan PT. ASDP hanya menjadi supporting. “Kementerian mengatakan kalau pelabuhan wajib memiliki jembatan timbang, punya kita ada di tollgate nomor 7 dan nomor 8. Tetapi belum difungsikan. Nanti bisa (berfungsi) setelah aturan berlaku, yang melakukan di lapangan BPTD (Balai Pengelola Transportasi Darat),” katanya. Syaiful mengamini jika ODOL yang bebas di pelabuhan merugikan pemerintah. Menurut dia, kerugian itu menjadi dasar pemerintah memberlakukan aturan tersebut. Syaiful melanjutkan, kapan aturan ini berlaku, dan bagaimana teknisnya akan ditentukan dalam rapat teknis di kantor PT. ASDP Pelabuhan Bakauheni, Rabu (4/2/2020). “Rapat cenderung membahas teknis. Misalnya ada barang yang lebih, apakah diboleh masuk atau tidak. Atau dibongkar, atau seperti apa kita belum tahu. Mau dibongkar kita juga belum punya gudang. Kalau itu (pro kontra) pasti ada, tetapi negara akan tetap menjalankan secara perlahan. Stakeholder juga akan mendukung regulasi ini.,” katanya. Terpisah, seorang sopir angkutan barang asal Kota Kalianda, Sigit (30) sedikit gundah mendengar informasi tersebut. Dia menganggap, hal itu bakal mengurangi pendapatan tambahan bagi mereka. “Siapa sih yang tidak ingin mendapat penghasilan lebih. Toh kami juga memberikan bayaran lebih jika barang atau muatan kami diatas tonase yang ditentukan. Kalau berbicara aturan memang harus ditegakkan. Tapi negara kita ini kan negara tradisional, jadi jangan selalu terpaku dengan aturan dari luar negeri,” keluh Sigit saat dimintai komentarnya. Dia yang mengaku tengah berada di Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah ini menambahkan, siap mengikuti aturan yang diterapkan oleh pemerintah. Namun, dia meminta aparat berwenang juga menyampaikan informasi ini kepada para pengusaha atau pemimpin perusahaan yang menggunakan jasa para sopir. Sebab, mereka yang ada diatas tidak pernah mau tau kondisi di lapangan. “Kalau kita tidak mau mengisi muatan lebih, maka uang jalan kita yang dikurangi. Sementara untuk membeli tiket masuk tidak akan dikurangi juga, tapi kalau lebih mereka pasti mau. Mau makan apalagi kita kalau begitu kondisinya,” pungkasnya. (rnd)

Sumber: