Komisi II dan WALHI Sorot Reklamasi Illegal

Komisi II dan WALHI Sorot Reklamasi Illegal

KALIANDA – Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan Pemerintah Provinsi Lampung harus tegas melakukan penegakan hukum terkait dengan adanya dugaan eksploitasi hutan bakau oleh PT Dataran Bahuga Permai (DBP), Desa Bakauheni Kecamatan Bakauheni. Group perusahaan PT. Tri Patria Bahuga (TPB) itu ditengarai sedang membangunan pelabuhan tanpa memiliki izin lingkungan dan dokumen lingkungan serta tidak memiliki izin reklamasi dan izin pengelolaan ruang laut. Dugaan pelanggaran lainnya, perusahaan tersebut melakukan aktivitas penebangan pohon mangrove yang merupakan ekosistem pesisir dan benteng terakhir perlindungan daratan dari ancaman abrasi pantai dan tsunami. Poin-poin krusial itu disuarakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Lampung dan Ketua Komisi II DPRD Provinsi Lampung, Wahrul Fauzi Silalahi. Politisi NasDem Lampung ini mengaku belum melihat laporan resmi atas kasus tersebut dari masyarakat di sekitar hutan bakau. Karenanya ia sangat menunggu laporan resmi tersebut agar wakil rakyat di parlemen bisa mendorong penuntasannya. “ Sejauh ini belum ada laporan tertulisnya, maka kami tunggu laporan dari masyarakat. Tetapi terkait itu kalau saya lihat info dari teman-teman, telepon dari teman-teman juga masyarakat bahwa kegiatan itu tidak dibenarkan,” kata Wahrul di Markas DPD NasDem Lamsel, Minggu (17/5) kemarin. Ketua DPD NasDem Lamsel ini menegaskan agar pemerintah daerah yang menutup aktifitas illegal itu harus konsisten. Jangan hanya menutup karena dekat lebaran, nanti kata dia setelah diisi orang perusahaan kemudian dibuka lagi. “ Nah kita nggak mau yang seperti itu. Jadi Dinas terkait harus konsisten, harus istiqamah. Kalau betul tidak memenuhi unsur tidak memenuhi syarat perizinannya itu harus di tutup. Dan harus kita lawan, nggak benar itu merusak lingkungan, merusak alam dan merusak ekosistem yang ada. Karenanya, WFS begitu panggilan bekennya menunggu laporan baik dari masyarakat maupun laporan dari aktifis lingkungan terkait dugaan pelanggaran oleh perusahaan pertamabangan itu. “ Kami tunggu laporannya di komisi II,” tandasnya. Direktur WALHI Lampung Irfan Tri Musri juga mendesak pemerintah daerah dan provinsi mengungkap kasus ini. Walhi melalui press rilisnya meminta agar hal ini jadi sorotan lantaran dinilai sebagai ancaman serius. “Oleh karna itu Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan Pemerintah Provinsi Lampung melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bersama aparat penegak hukum yakni kepolisian harus segera melakukan penyelidikan dalam rangka penegakan hukum atas kasus ini,” katanya, Jum’at (15/5). Karena hal tersebut di duga telah melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 109 yang menyatakan Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Kemudian dugaan pelanggaran selanjutnya yaitu pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007  Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan dalam Pasal 73 Ayat (1) huruf (b) yang berbunyi : “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Setiap Orang yang dengan sengaja: menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g; Kemudian Pasal 75 yang berbunyi : “Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Dan Pasal 75A yang berbunyi : “Setiap Orang yang memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”. Irfan melanjutkan dugaan pelanggaran selanjutnya ialah pelanggaran terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang apabila memang lokasi tersebut direncanakan untuk pembangunan pelabuhan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 69 Ayat (1) yang berbunyi : “Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Karena rencana lokasi pembangunan tersebut diduga berada di dalam Kawasan Pemanfaatan Umum Sub Zona  Demersal & Pelagis dengan kode Zona KPU-PT sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam Peratura Daerah Provinsi Lampung Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan PUlau-Pulau Kecil (RZWP3K) sedangkan untuk peruntukan lokasi pembangunan  pelabuhan tidak dibenarkan di wilayah itu karena lokasi pembangunan pelabuhan dalam RZWP3K diatur dalam Zonasi Kawasan Pemanfaatan umum – Pelabuhan (KPU-PL). “Perlu dipastikan juga apakah mangrove yang ditebang tersebut berada di dalam Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana diatur dalam Perda RZWP3K Provinsi Lampung. karena sampai dengan saat ini provinsi lampung masih minim hutan mangrove sebagai ekosistem pesisir dan pelindung wilayah daratan dari ancaman abrasi dan bencana tsunami,” jelas Irfan dalam keterangan persnya. Walhi menilai dalam kasus ini ada dugaan pelanggaran serius yang dilakukan oleh korporasi, pelanggaran yang dilakukan bukan hanya menabrak satu Peraturan Perundang-Undangan yang ada, namun ada berapa Peraturan Perundangan-Undangan yang dilanggar. Oleh sebab itu pemerintah dan aparat penegak hukum harus serius dan segera melakukan penyelidikan terhadap kasus ini demi kepentingan kelestarian lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat. Ekosistem hutan mangrove atau hutan bakau di Dusun Penubaan Desa Bakauheni, Kecamatan Bakauheni mendapat hantaman. Diam-diam PT. Dataran Bahuga Permai (DBP) membuka lahan hutan mangrove serta melakukan reklamasi illegal sepanjang 500 meter. Ironisnya, PT. DBP bagian dari Group PT. Tri Patria Bahuga (TPB) yang bergerak di bidang pertambangan itu tak memiliki sehelai pun dokumen perizinan tetapi nekat beroperasi. Fakta tersebut ternyata sudah sampai ke telinga Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan. Tak butuh waktu lama, Tim penertiban perizinan Lampung Selatan langsung menutup kegiatan illegal tersebut. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Daerah Lampung Selatan Feri Bastian mengatakan kegiatan itu belum mendapat izin tata ruang yang dikeluarkan TKPRD Provinsi Lampung juga tidak memiliki dokumen izin lingkungan yang dikeluarkan oleh lembaga OSS. “ Sehubungan dengan adanya temuan di lapangan kegiatan reklamasi pantai dan land clearing hutan mangrove di Bakauheni, maka kami berkoordinasi dengan DLH Provinsi Lampung agar dapat memberikan tindak lanjut terhadap kegiatan tersebut,” kata Feri Bastian kepada Radar Lamsel usai tim penertiban perizinan melakukan penutupan reklamasi illegal,  Rabu (14/5). Feri mengatakan PT. DBP telah melakukan reklamasi pantai dan membuka lahan hutan bakau tanpa dokumen perizinan. Pihak PT. DBP pun mengakui belum memiliki dokumen perizinan dari dua kegiatan, reklamasi pantai dan pertambangan batu. Mereka ketahuan baru akan mengurus perizinan tetapi sudah nekat beroperasi. “Karena ada juga kaitannya dengan landclearing hutan mangrove maka ini ranahnya DLH Provinsi terkait tindaklanjutnya. Kami juga sudah membuat surat ke provinsi terkait adanya kegiatan reklamasi pantai yang tak punya izin,” jelasnya. Masih kata Feri, PT. DBP disinyalir opersional perusahaan itu sudah cukup lama. Perusahaan itu juga disinyalir punya rencana melebarkan lahan, sebab PT. DBP merupakan group PT. TPB yang lokasinya juga berdekatan. “ Kalau warga tidak protes, mungkin warga mengira itu masih perusahaan yang sama. Belum lagi aturan pertambangan mengharuskan tidak boleh lebih dari 35 hektar IUP. Makanya lahan pertambangan IUP nya itu PT. TPB seharusnya dibuatkan lagi karena ada lahan tambahan begitu harusnya harus ada AMDAL dari provinsi,” kata Feri. Pemkab Lamsel sebagai lokus merasa kecolongan sekaligus dikangkangi oleh perusahaan tersebut. Sebab investasi yang berdiri di Lampung Selatan mesti juga memperhatikan tata ruang serta aturan yang berlaku di Lampung Selatan. “ Kita sebagai lokusnya kecolongan apalagi ada reklamasi. Kita belum tahu apakah reklamasi itu untuk bersandarnya tongkang penunjang aktifitas pertambangan atau untuk reklamasi wisata, kita belum tahu karena saat kami ke lapangan hanya ada pekerjanya saja bukan orang perusahaannya,” ungkap Feri. Dalam UU 32 tahun 2009 dijelaskan setiap kegiatan usaha dan usaha wajib memiliki AMDAL dan izin lingkungan. Jika tidak memiliki izin maka ada sanksi pidananya. “ Izin reklamasinya memang ranahnya di DKP, tetapi kajiannya berawal dari DLHD dulu. Dan itu belum dilakukan oleh perusahaan tersebut. Informasinya mereka mengeksploitasi mangrove,” jelasnya. Sementara Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Satu Pintu (DPMPPTSP) Martoni Sani mengungkap PT. DBP sehelaipun belum memiliki perizinan, namun ia menjelaskan sudah ada usulan. “ Kami dapat laporan dari penegak perda bahwa PT. DBP belum punya izin tapi sudah beroperasi alias ada aktifitas pekerja disana. Nah kalau sudah ada operasional ranahnya bukan diperizinan lagi tetapi sudah melanggar perda maka penegak perda yang melakukan penutupan. Bukan DPMPPTSP yang menutup karena bukan kewenangan kami, kami hanya menampung semua usulan izin sebelum diterbitkan, karena Lamsel sejatinya tidak alergi investasi tapi seharusnya investor ikut aturan yang berlaku,” paparnya Martoni

Sumber: