Syndrome Narsisme Korban dan Image Tersangka

Syndrome Narsisme Korban dan Image Tersangka

KALIANDA - Sepak Terjang mantan Calon Legislatif (Caleg) Sariyanti mendadak jadi topik hangat di Bumi Khagom Mufakat. Itu setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka dengan laporan tindak penipuan. Lantas mengapa di zaman yang sudah serba terbuka masih ada saja korban yang terjerembab iming-iming masuk akademi kepolisian (Akpol) hingga rela merogoh kocek dalam-dalam, angkanya  bahkan miliaran rupiah. Praktisi jebolan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Aris Burhanuddin, M.Si menilai bahwa korban boleh jadi dipengaruhi ambisi yang terlalu besar untuk merengkuh keinginannya. Sehingga cara-cara apapun bersedia ditempuh demi mewujudkan ambisi tersebut. “ Kalau dalam psikologinya ada istilah ID, ego dan super ego. Mudahnya begini deh, ambisinya terlalu berlebihan. Ketika orang orang menginginkan sesuatu yang terlalu berlebihan maka hal cara apapun akan dia lakukan demi mewujudkannya,” kata lulusan UMY berpredikat cumlaude itu ketika dihubungi Radar Lamsel, Senin (15/6) malam. Dari ilmu psikologi yang pernah dikenyam semasa di bangku perkuliahan, putra daerah Lamsel yang konsen dalam Pemikiran Politik Islam (PPI) itu kini menilai, syndrom narsisme turut melatarbelakangi realita yang demikian tersebut. “ Jadi orang itu ingin dianggap ada, ingin dianggap hebat dari sisi kekayaan, sisi fasilitas hingga dari sisi jabatan. Jadi ingin dianggap itu sehingga melakukan itu,” terangnya. Berkaca pada teori Sigmund Freud bahwa kepribadian manusia itu hakikatnya tergantung ID (alam bawah sadar) dalam artian alam bawah sadar dalam teori Sigmund Freud itu hasil risetnya kata dia 80 persen manusia bukan dikendalikan otak tetapi dikendalikan alam bawah sadar. “ Alam bawah sadar itu dibentuk atau bisa dipengaruhi lingkungan, pemicu paling kuat. Bisa saja karena faktor didikan orang tuanya, lingkungan pertemanan, katakanlah teman-temannya hobi menyilau-nyilaukan barangkah atau apakah itu akhirnya terbangun. Nah sekarang pertanyaannya untuk menyaring itu dimensi kedua ada namanya super ego, kalau bahasa Sigmund Freud super ego itu menjadi filternya. Filter itu didapat dari apa? Bisa dari pendidikan, agama yang baik-baik lah. Maka muncullah bahasa orang indonesia kamu ego-lah, ego dimaknai sesuatu yang jelek. Padahal sejatinya ego itulah yang dapat menyaring bentuk perlakuan kita sebelum melakukan sesuatu,” paparnya. Lalu dari sisi tersangka? Pria yang ketika dihubungi Radar sedang berada di Bangka Belitung itu menilai sosok tersangka yang image nya terpandang lantaran harta atau jabatannya bisa sangat mempengaruhi korban. “ Yang demikian itu semakin menguatkan. Karena analoginya dengan baju yang tersangka punya dalam artian harta atau jabatan, maka korban dibangun persepsinya bahwa si tersangka punya relasi yang kuat. Sehingga membantu dia, dianggapkan begitu,” kata dia. Dan yang demikian itu, lanjut Aris dilakukan kontinyu secara terus menerus demi meyakinkan korban. “Memang yang demikian, penipuan dengan menjual image kenikmatan fiktif atau kenikmatan fatamorgana sering ditemukan kasusnya,” pungkasnya. (ver) \"\"

Sumber: