Renungan HGN 2021: Guru ORI, Guru Masa Kini
Oleh:
Sakwan
Kepala SMPN 1 Kalianda, Lampung Selatan
Koordinator Pengajar Praktik PGP Lampung Selatan 2021 Di tengah era digitalisasi pendidikan, dunia virtual bisa menjadi ruang-ruang yang efektif untuk belajar sebagaimana layaknya sekolah atau kampus. Sejumlah profesi kini mulai tergeser dengan munculnya kecerdasan buatan (artificial intelligence) hasil dari Revolusi Industri 4.0. Namun, guru yang ORI (otentik, reflektif dan interaktif) tak akan bisa tergantikan oleh mesin semutakhir apapun. Otentik Menurut Webster’s Revised Unabridge Dictionary, 1998, istilah “otentik” memiliki arti asli, sejati dan nyata. Guru yang otentik mampu menyelenggarakan pembelajaran dan penilaian yang relevan dengan pengalaman kehidupan nyata peserta didik. Dalam pembelajaran yang otentik, peserta didik mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan pemecahan masalah, tugas dan realitas di luar dinding sekolah atau masalah kehidupan dunia nyata pada umumnya. Belajar menyelidiki, mengeksplorasi dengan menggabungkan beberapa disiplin ilmu (interdisipliner) menjadi ciri khas pembelajaran yang otentik. Guru dapat memberikan tugas-tugas yang kompleks yang membutuhkan high order thinking skills (HOTs) namun tetap memberikan scaffolding atau bantuan seperlunya saja dan melepaskan siswa agar bekerja bebas ketika mereka mampu melakukannya sendiri. Peran guru bukan mengajak mempelajari apa yang orang lain lakukan tetapi menantang peserta didik melakukan, membuat dan berpartisipasi aktif menghasilkan karya-karya (produk) yang bisa dibagi dengan masyarakat di luar sekolah. Hal ini akan menjadi prestasi peserta didik di luar sekolah yang dalam proses evaluasinya dapat diukur sebagai penilaian otentik pada sikap, kinerja, prestasi, dan motivasi yang relevan dalam pembelajaran. Penilaian yang otentik ini secara konseptual memiliki makna yang lebih signifikan dibandingkan dengan tes pilihan ganda (multiple choice) yang terstandar sekalipun karena telah menyentuh ranah sikap (afektif), pengetahuan (kognitif) maupun keterampilan (psikomotorik). Penilaian portofolio dan produk karya seni (lukisan, film, patung, foto dan lainnya), karya tulis, makanan, barang-barang dari tanah liat, kertas, kayu atau plastik atau laporan penelitian, diskusi, bedah buku yang telah dihasilkan oleh peserta didik dari teori atau ilmu pengetahuan yang telah mereka dapatkan di sekolah dapat diterapkan. Proses belajar yang melibatkan penilaian otentik ini dapat memperluas jaringan atau networking peserta didik yang memungkinkan mereka untuk menimba ilmu dan pengalaman dari dunia di luar tembok sekolah. Selain itu penilaian kinerja seperti praktik sholat, menari, olah raga, bernyanyi, membaca puisi, atau memainkan alat musik termasuk penilaian otentik yang dapat memberikan motivasi dan tanggung jawab terhadap bakat dan minat khusus mereka. Pembelajaran otentik yang didukung dengan penilaian yang otentik yang tidak sekedar menjawab pertanyaan seperti dalam tes tradisional dapat diterapkan pada semua tingkatan kelas dengan tingkat kemampuan yang majemuk dari yang memiliki kebutuhan khusus, berkemampuan sedang hingga yang jenius. Reflektif Guru yang reflektif yaitu yang mau melakukan proses refleksi diri akan melahirkan peserta didik yang reflektif pula. Guru yang reflektif tidak akan terlalu membicarakan apakah nilai peserta didik mereka baik atau tidak, tetapi mereka berfokus pada mengapa dan bagaimana peserta didik mereka bisa memperoleh nilai yang baik atau tidak. Guru reflektif memiliki keterampilan metakognitif yaitu tentang berpikir bagaimana berpikir (thinking how to think), belajar bagaimana mengajar (learning how to teach), belajar bagaimana cara belajar (learning how to learn) dan mengajar bagaimana belajar (teaching how to learn). Keterampilan yang kerap diabaikan ini akan memonitor perkembangan belajar peserta didik mereka di masa depan. Assessment as learning sebagai bentuk self-testing (penilaian diri), kurang begitu membumi karena selain tak bisa dihitung dalam format angka juga memerlukan pemikiran kritis dan alokasi waktu untuk menganalisa berdasarkan fakta dan disiplin ilmu. Peran guru dalam menerapkan penilaian diri (self-assessment) pada murid dapat dilakukan dengan memberikan kolom khusus pada lembar assessment yang meliputi pertanyaan seperti: apa tujuan saya mempelajari konsep ini?, apa yang telah saya pahami tentang materi ini?, apa yang harus saya lakukan untuk meningkatkan hasil belajar saya? apa manfaat mempelajari materi ini? dan lain-lain. Guru yang reflektif akan menciptakan pembelajaran reflektif yang selalu melihat bahwa proses adalah produk dari berpikir dan berpikir adalah produk dari sebuah proses. (Donald F. Favareau, 2005). Dengan demikian pembelajaran sejatinya adalah sebuah proses dan bukan sekedar tujuan. Sebagai sebuah proses maka pembelajaran tidak akan pernah berhenti dan terus berlangsung secara terus menerus seumur hidup (life-long learning). Interaktif Kecakapan seorang guru diperlukan dalam membangun pengetahuan para peserta didik yang merujuk pada pandangan konstruktivis yaitu melalui penyelidikan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan. Model pembelajaran interaktif menitikberatkan pada penggalian pertanyaan-pertanyaan peserta didik sebagai ciri sentralnya. Faire dan Cosgrove menyatakan bahwa model pembelajaran interaktif dirancang agar siswa mau bertanya lalu menemukan jawaban mereka sendiri. (Abdul Majid, 2014:84). Model pembelajaran interaktif seperti students teams-achievement divisions (STAD), snowball throwing, inside-outside-circle, group investigation (GI), dan lain-lain apabila sungguh-sungguh dipraktikkan secara perlahan-lahan akan menggeser teori didaktik metodik. Guru yang interaktif mampu mengembangkan dan menyusun dinamika kelompok sehingga tercipta varian kegiatan klasikal kelompok dalam kelas interaktif. Kerjasama antara guru dan peserta didik atau antar peserta didik dalam kelompok akan menghasilkan energi kolektif yang disebut dengan sinergi. Sinergi yang baik dalam model pembelajaran interaktif yang didukung oleh materi-materi yang otentik dan media pembelajaran interaktif seperti multimedia pembelajaran interaktif (MPI) atau computer assisted instruction (CAI) akan menjadikan peserta didik sebagai subjek pendidikan. Lalu, untuk mewujudkan mimpi besar seorang pendidik-guru yang utuh dan paripurna, kata kuncinya guru kekinian harus mengubah mindset dan selalu belajar (long life education). Jika guru ‘sungkan’ untuk berbenah, maka dikhawatirkan, kelak akan ditinggalkan peserta didik, kehadirannya di ruang kelas hanyalah sebuah potret boneka pendidikan. Sebelum terjadi, masuklah dalam gerbong gerakan pembaruan dan transformasi pendidikan: “Tergerak, Bergerak, dan Menggerakan”. Smoga!Sumber: