Mengenang 133 Tahun Dahsyatnya Letusan Gunung Krakatau

Mengenang 133 Tahun Dahsyatnya Letusan Gunung Krakatau

KALIANDA – Puluhan masyarakat beserta lima marga adat Saibatin melakukan renungan suci dalam peringatan 133 tahun meletusnya gunung Krakatau diperairan Selat Sunda. Renungan tersebut dilakukan di Museum Krakatau di Desa Tajimalela, Kecamatan Kalianda pada pukul 20.00 WIB, Jumat (26/8). Tidak banyak yang mengetahui meletusnya gunung Krakatau pada tahun 1883 silam. Letusan dahsyat gunung berapi itu menyebabkan 4 ribu jiwa warga Kalianda menjadi korban. Karya Paksi Marga dari Keratuan Manangsi yang mewakili lima marga adat Saibatin mengatakan, gunung Krakatau dan sejarah masyarakat Lampung tidak bisa dipisahkan. “Saling berkaitan karena lima marga adat terdahulu menjadi saksi dahsyatnya letusan gunung Krakatau,” kata dia kepada Radar Lamsel. Dikatakannya, sebanyak 4 ribu jiwa warga Kalianda yang nyawanya melayang dari tragedi letusan Krakatau. Untuk itu, dia beserta masyarakat adat dan perwakilan lima marga adat mengadakan do’a bersama untuk para korban yang berjatuhan pada saat itu. Selama ini, sambung dia, kegiatan yang bertajuk Krakatau selalu difokuskan diluar wilayah Lamsel. Padahal, lanjut dia, diwilayah Katimbang atau sekarang dikenal sebagai Desa Banding tepatnya di Kecamatan Rajabasa, 4 ribu jiwa korban berjatuhan. “Harusnya kegiatan difokuskan diwilayah Lamsel karena dampak terbesarnya berada di Bumi Khagom Mufakat ini,” ungkapnya. Tidak dilibatkannya masyarakat asli Lamsel membuat Panglima Alif Jaya dari Kerajaan Pak Skala Brak ini kecewa. Pasalnya kegiatan terkait peringatan Krakatau selalu difokuskan diluar wilayah Lamsel. “Masyarakat asli harusnya dilibatkan karena masyarakat Lamsel yang menanggung dampaknya. Sedangkan masyarakat yang tidak mengetahui apa-apa dilibatkan, jelas-jelas letak Krakatau ada di Lamsel,” ujar dia. Renungan suci ini lanjutnya akan dijadikan agenda tahunan bagi masyarakat Lamsel. Selain menjadi wisata rohani kegiatan ini dinilai bisa menjadi renungan atas dahsyatnya kuasa Tuhan. “Kami berencana menjadikan peringatan ini menjadi agenda tahunan,” papar Panglima Alif Jaya. Lebih lanjut Panglima Alif Jaya mengungkapkan, dalam waktu dekat pihaknya beserta founder akan meresmikan Museum Krakatau yang berada di Desa Tajimalela, Kecamatan Kalianda. “Dalam waktu dekat keberadaan Museum Krakatau akan menjadi kebanggan masyarakat Lamsel karena disinilah banyak ditemukan fosil, jejak-jejak peradaban sebelum meletusnya Krakatau,” imbuhnya. Sementara itu Founder Museum Krakatau Ir. H. Pranoto Hamidjoyo pendiri sekaligus perintis keberadaan Museum Krakatau mengaku tergugah untuk mendirikan sebuah museum mengenai jejak-jejak sejarah peradaban sebelum dan sesudah meletusnya gunung Krakatau. “Unesco sudah mengakui jika gunung Krakatau merupakan warisan dunia. Sudah banyak karya orang luar negeri yang mengangkat nama Krakatau. Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Masyarakat Lampung?,” ujar pria yang mendedikasikan hidupnya meneliti gunung Krakatau sejak 1996 lalu. Pranoto Hamidjoyo menjelaskan, letusan gunung berapi selalu berdampak pada adat dan budaya masyarakat sekitar tak terkecuali dampak yang ditimbulkan dari letusan gunung Krakatau. “Tidak bisa dipisahkan, bukan dikait-kaitkan. Tapi memang terkait,” tagasnya. Pendirian museum ini sambung Pranoto, merupakan keinginan dirinya dan masyarakat pesisir Kalianda yang didukung langsung oleh lima marga adat Saibatin. “Jika dunia mengakui gunung Krakatau, mengapa kita tidak. Museum ini yang akan bicara banyak tentang budaya dan adat sebelum dan sesudah meletusnya gunung Krakatau,” papar dia. Ditahun mendatang, Pranoto bekerjasama dengan lima marga adat Saibatin akan mengagendakan renungan suci menjadi agenda rutin setiap tanggal 26 Agustus, sedangkan peresmian Museum Krakatau direncanakan pada 18 September mendatang. “Mudah-mudahan semua berjalan lancar, demi budaya, pendidikan dan masyarakat Lampung tentunya harus bekerjasama untuk melestarikan peninggalan sejarah,” tandasnya. (ver)

Sumber: