Angdes: Antara Hidup Segan Mati tak Mau

Angdes: Antara Hidup Segan Mati tak Mau

KALIANDA – Sempat merajai moda transportasi di Lampung Selatan pada era 90-an, kini nasib Angkutan Pedesaan (Angdes) berada diujung tanduk. Moda transportasi ini kalah pamor dengan ojek motor. Bahkan nasib ojek sedikit lebih mentereng. Faktor tersebut disebabkan warga Lamsel lebih memilih mengusung kendaraan sendiri ketimbang menggunakan jasa angkutan umum secara regular. Faktor lainnya, berkurangnya minat siswa-siswi untuk bersekolah ditempat yang lebih jauh, utamanya Sekolah Menengah tingkat Atas (SMA) sedarajat. Padahal siswa sekolah menjadi pangsa pasar Angdes. Ishar (40), supir Angdes jurusan Kalianda – Bakauheni mengamini bahwa nasib Angdes di era millenial semakin terseok-seok, bahkan untuk mengembalikan modal bensin saja diakuinya cukup kesulitan. “ Situasinya tidak seperti dulu, sekarang lebih banyak ngetem dari pada narik. Kalau tak pintar-pintar cari pelanggan ya tidak bisa balikin modal bensin,” ujarnya kepada Radar Lamsel di Pasar Inpres Kalianda, Kamis (28/6) kemarin. Ishar yang sudah puluhan tahun bergelut didunia angkutan tak dapat berbuat banyak. Meski jurusan Kalianda – Bakauheni masih ada namun paling sering penumpang hanya sampai di Kecamatan Penengahan. “ Trayek ke Bakauheni masih tetap ada, yang tidak ada itu penumpangnya. Kalau dulu masih banyak siswa dari Bakauheni bersekolah di Kalianda. Sekarang sudah jarang sekali paling hanya sampai Pasar Blambangan dan Pasuruan saja,” ungkapnya. Selain terkikisnya minat pengguna Angdes, tidak tetapnya tarif angkutan satu dengan yang lainnya menyebabkan transportasi ini tidak seragam meski dalam satu jurusan. Sebab masing-masing supir diakui Ishar harus pintar-pintar untuk menambah pemasukan dan meminimalisir pembengkakan BBM. “ Tarifnya berbeda-beda, Kalianda – Bakauheni berada dikisaran Rp 20 – 25 ribu. Jarak dekat untuk umum dan anak sekolah pun menyesuaikan saja,” kata dia. Masih kata Ishar, saat ini masih terdapat sekitar 50 unit armada jurusan Kalianda – Bakauheni. Namun yang beroperasi tak sampai 50 persen dari jumlah keseluruhan. “ Banyak yang ngandang serta ngetem, yang ngetem saja bisa sampai 20 armada di Bakauheni tidak jalan sama sekali. Sementara yang dikandangkan oleh pemiliknya juga banyak,” ucapnya. Pelaku usaha angkutan berharap situasi ini menjadi perhatian pemerintah kabupaten dalam mengambil setiap kebijakan dan keputusan yang berpihak pada Angdes bukan malah sebaliknya. Berdasar pantauan, di ibu kota Kabupaten Lampung Selatan, Angdes hanya melayani tiga jurusan saja. Diantaranya Kalianda – Bakauheni, Kalianda – Sidomulyo, dan Kalianda – Rajabasa. Khusus rute Kalianda – Rajabasa sudah mulai jarang terlihat beroperasi. Sedangkan pelayanan Kalianda – Sidomulyo masih aktif dijumpai meski jam operasionalnya hanya pada waktu tertentu mulai pukul 06.00 – 16.00 WIB. “ Tarifnya Rp 5 ribu untuk anak sekolah, dan Rp 7 ribu untuk umum. Itu juga tidak bisa pagi-pagi sekali dan tidak bisa kesorean, kalau ingin naik angkot,” ujar Suhendar (22) penumpang jurusan Kalaianda – Sidomulyo. Suhendar berasumsi, Angkodes harus kreatif untuk menarik simpati dari penggunanya. Apabila dari segi tampilan serta pelayanan masih biasa saja dikhawatirkan Angkodes hanya tinggal nama. “ Kembali lagi, harus ada inisiatif untuk berbenah dan memperbaiki sektor pelayanan, karena kalau sudah nyaman maka sulit untuk berpindah. Begitu,” tandasnya. (ver)

Sumber: