Pemilih Pengidap Gangguan Jiwa Harus Memenuhi Klasifikasi

Pemilih Pengidap Gangguan Jiwa Harus Memenuhi Klasifikasi

KALIANDA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung Selatan memastikan bahwa pemilih yang mengalami gangguan jiwa tidak sama dengan orang gila pada umumnya. Pemilih yang mengalami gangguan kejiwaan harus memiliki klasifikasi yang telah ditentukan. Komisioner Ketua Divisi Sosialisasi dan Parmas Titik Sutriningsih, S.E.,M.M mengatakan, bahwa pengidap gangguan kejiwaan yang tidak bisa dijadikan pemilih adalah mereka yang tidak mengenal dirinya serta tidak bisa membedakan mana yang real dan halusinasi. “Kemudian, mereka yang tidak bisa mengambil keputusan tentu tidak bisa memilih. Karena mereka yang memilih adalah mereka yang masih memiliki kesadaran itu, bisa membedakan yang nyata dan halusinasi,” kata Titik kepada wartawan saat ditemui diruangannya, Senin (14/1/) kemarin. Gangguan jiwa, kata Titik, memiliki versi yang bermacam-macam. Titik mengatakan bahwa dirinya pernah mengutip pembicaraan KPRI dengan psikologi gangguan jiwa. Yang namanya gangguan jiwa, lanjut Titik, memiliki macam-macam bipolar seperti kasus pada umunya. “(Bipolar) itu kan masih bisa mengambil keputusan, dia tahu, bisa membedakan gitu. Kemudian stress, depresi adalah orang yang masih mengenal dirinya sendiri. Jadi seperti itu yang didata dan boleh memilih, ya bukan (orang gila) ya. Orang gila di jalanan itu dia sendiri aja siapa enggak tahu kan gitu,” katanya. Lebih jauh, Titik mengatakan bahwa orang yang mengalami gangguan kejiwaan bukan baru terjadi sekarang ini saja. Menurut Titik, hal seperti itu juga sudah dilakukan pada pemili-pemilu sebelumnya. “Kemarin-kemarin kan seperti itu, dari pemilu ke pemilu kan seperti itu. Gangguan jiwa yang klasifikasinya masih bisa mengenali dirinya sendiri dan bisa mengambil keputusan, itu yang diberi hak memilih. Kalau gila permanen ya enggak bisalah,” katanya. Mengenai kejelasan klasifikasi pemilih yang mengidap gangguan kejiwaan, menurut Titik, yang bisa menentukan adalah ahli jiwa. Jika di rumah sakit jiwa (RSJ), dokter akan merekomendasikan siapa saja yang bisa menjadi pemilih. “Boleh atau tidak. Pada kondisi bagus seperti orang normal, dia boleh dikasih rekomendasi. Kalau kondisi seperti yang saya sampaikan tadi (gila permanen’red), ya enggak bisa memilih. Ahli jiwa itulah yang menentukan,” ucapnya. KPU, kata Titik, sudah mensosialisasikan masalah pemilih yang mengalami gangguan kejiwaan kepada unsur masyarakat. Dalam penyampaiannya, Titi mengatakan bahwa yang dimaksud pemilih yang mengalami gangguan kejiwaan bukan orang gila yang ada di jalanan. “Sosialisasi sudah dilakukan, kepada pemuda, pemula juga sudah disampaikan. Bahwa yang dimaksud KPU, orang gila boleh memilih bukanlah orang gila di jalanan. Bukan gila yang dijalanan ya, tapi bipolar,” katanya. (rnd)

Sumber: