Kapan kau akan datang ke Liverpool?

Beberapa tahun lalu, kau berjanji mengunjungiku. Katamu, pergi ke Liverpool adalah impianmu. Kota tempat grup band dan klub sepakbola kesukaanmu berasal. Kota yang dijejali warna-warni cahaya neon, lalu-lalang orang dan kendaraan, oleh obrolan dan gelak tawa, hiruk-pikuk selfie dan klik kamera turis-turis yang datang dari segala penjuru dunia. Meminjam slogan klub sepakbola kesukaanmu, kamu bilang, di Liverpool, aku tidak akan pernah berjalan sendirian. Seandainya kau datang ke Liverpool, aku akan mengajakmu berkeliling kota. Royal Albert Dock, The Cavern Club dan Anfield Stadium. Kita juga bisa mengunjungi museum-museum dan, jika cuaca cerah, duduk di rerumputan taman. Kalau kau punya waktu mengalihkan pandanganmu dari keindahan kota, aku akan mengajakmu menemukan mereka. Mereka ada di sekitar kota, bahkan di Paradise Street sekalipun. Biasanya mereka duduk beralas kantung tidur dan selimut tebal, di sela ceruk-ceruk gedung perkantoran dan pertokoan, demi sedikit berlindung dari dinginnya angin, atau sekadar berusaha menyembunyikan diri. Beberapa meletakkan topi di jalan. Topi itu mereka letakkan terbalik hingga terlihat menganga, menunggu jatuhnya satu-dua koin dari orang-orang yang lewat. Kalau mau, kau juga bisa menemukan mereka di restoran-restoran cepat saji. Mereka datang dan pergi untuk menggunakan toilet atau sekadar menghangatkan tubuh sejenak. Mereka serupa hantu.Tak ada orang yang mampu atau mau melihat mereka. Tapi tidak semua, ada beberapa yang memaksamu untuk menoleh dan melihat mata mereka. Ada lelaki berambut pirang-kecokelatan gondrong, berpakaian kumal berbercak-kotor dan berbau tak sedap, yang datang menghampiri pengunjung restoran dari meja ke meja. Ia melihatmu menghirup kopi dan datang menghampirimu, meminta stiker yang menempel di gelas kopimu. Ketika sudah terkumpul tujuh buah stiker, ia akan menukarkannya di konter dan mendapat satu gelas kopi cuma-cuma. Dengan gelas kopi di tangan, ia mengedarkan pandangan mata, pada pengunjung yang menundukkan wajah, sibuk menatap telepon genggam sambil berharap ia tidak memilih duduk di dekat mereka. Lelaki tua itu memilih duduk di sampingmu. Kau mengacuhkannya, terus asik dengan telepon genggammu dan berusaha menahan napas lelaki itu sungguh sungguh bau. Tapi lelaki tua itu tiba-tiba tergelak-gelak, memaksamu untuk menoleh padanya. Ia tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya yang hitam kekuningan. Tanpa sengaja kau menatap matanya yang jernih kehijauan. Kau mengenalnya. Beberapa tahun yang lalu. * Kau belum juga datang ke Liverpool. Hari itu aku harus pergi berbelanja hanya dengan anakku. Ya, anakku. Kau belum pernah berjumpa dengannya. Seandainya kamu datang, kau boleh menerka, ia lebih menyerupai siapa, aku atau suamiku. Kau sempat berbincang dengan suamiku. Beberapa tahun yang lalu. Seperti juga kamu, suamiku penggemar setia Liverpool FC. Dan hari itu ada pertandingan yang tak akan ia lewatkan. “Six pounds and ninety nine pence, all together,” kata tukang daging dari balik konter kaca. Di dalam konter macam-macam daging dan sosis didinginkan. Konter di sebelahnya berisi keju, mentega dan makanan siap saji: pai daging, sausage rolls dan pastri aneka isi. Kotak-kotak telur, makanan kaleng dan botol-botol kaca berisi saus dan selai diletakkan di rak kayu di belakang konter. Sementara di depan konter, beberapa keranjang berisi bawang, paprika, selada, bebola kubis dan jagung manis diletakkan. Aku hendak memasak bolognaise. Bawang, daging cincang, jamur, saus tomat dan keju parut. Kau tertawa. Kau tak menyangka kalau akhirnya aku bisa memasak, apalagi memasak makanan Eropa. Aku lepaskan tangan anakku yang sedari tadi kugenggam. Aku merogoh dompet dari dalam tas selempang. Selembar sepuluh pound sterling kuberikan pada tukang daging. Sebagai gantinya, aku mendapat bahan-bahan untuk memasak bolognaise dan beberapa keping koin kembalian. Aku mengucapkan terima kasih dan tukang daging mengangguk. ‘See you again, love’. Aku memindahkan kantung belanjaan ke tangan kiriku. Tangan kananku menggapai dan mencari anakku. Tapi hanya ruang hampa yang terjamah. Aku terhentak. Dia tak lagi berdiri di sisiku. Aku melihat sekitar. Hanya sekejap kulepaskan tangannya tadi, tapi dia tak bisa lagi kutemukan. Dadaku sesak dan tubuhku gemetar. “Do you see my son?” tanyaku pada tukang daging. Tanpa kusengaja, suaraku terdengar meninggi dan serak. Tukang daging sudah sibuk melayani pelanggan yang lain. “Your son? No, love. ” Tukang daging menoleh sekilas dan menggeleng. “Mungkin anakmu berlari keluar.” Aku gegas keluar dari toko daging. Jejeran pertokoan dan ramai orang meyambutku. Mereka bukan lagi hanya orang-orang biasa yang sedang berbelanja atau sekadar melihat-lihat. Bukan hanya turis-turis yang sibuk mengabadikan tiap sudut perjalanan mereka. Mereka menjelma penculik dan pedagang anak. Aku curiga pada setiap orang. Aku berlari ke arah kiri dan terus mencari-cari, memanggil-manggil nama anakku. Sekarang aku tahu, seharusnya aku berbelok ke arah kanan saat itu. Bukannya ke kiri. Anakku berumur dua tahun. Dan kau belum juga datang menjenguknya. * Dua orang anak lelaki, berumur sekitar sepuluh tahun, mengajak anakku pergi. Mereka berjalan di sisinya hingga keluar dari pertokoan. Melalui rekaman CCTV, aku melihat anakku berjalan enggan dan beberapa kali menoleh ke belakang. Aku tahu ia mencariku. Ada lega dan harap menyelinap di dada. Melihat anak-anak yang bersama anakku, aku yakin mereka akan membawa anakku ke petugas keamanan. Anak-anak seumur itu bukan penculik apalagi pedagang anak. Hanya orang dewasa yang bisa melakukan kejahatan. Anak-anak serupa kertas putih tak berbercak. Petugas polisi menginstruksikan empat bawahannya untuk mengikuti jejak-arah anakku dan kedua anak itu berjalan. Tak sampai satu jam sejak toko daging. Mestinya mereka belum terlalu jauh. Ia meletakkan tangannya di pundakku. “Don’t worry, Ma’am. Kami akan temukan anakmu secepatnya.” Aku mengusap air mata dan mengangguk. Petugas itu memintaku duduk dan memberiku segelas teh hangat. Sementara ia berkomunikasi melalui pesawat walkie-talkie, benakku dipenuhi penyesalan dan tubuhku dibanjiri rasa ketakutan. Seandainya aku tidak pernah melepaskan tangannya. Seandainya aku tidak pergi berbelanja. Seandainya kamu ada di sini. Petugas polisi menghampiri. Aku menengadah. Jarum di jam dinding menunjukkan hari hampir senja.Petugas polisi itu menggeleng dan meminta maaf. “Tapi mereka tidak mungkin menghilang begitu saja!” teriakku. Seperti ada yang pecah di dada dan di kepala. Seperti air bah yang tak terbendung dari mata. “Kami akan mengecek semua CCTV kamera yang ada di dalam dan di luar pertokoan. Di setiap sudut jalan yang mungkin mereka lalui.” Di pintu, suamiku berdiri gelisah. Rambutnya yang pirang kecokelatan tampak berantakan. Ia masih mengenakan baju bola berwarna merah.Ia datang secepat yang ia bisa dari pertandingan sepakbola. Dia mencintaiku, kau tahu itu. Tapi apa aku juga mencintainya? Suamiku menghampiri dan memelukku, “It’s alright, love. We will find him.” Dulu kamu bilang, lebih baik aku memilih dia daripada kamu. Kamu tidak bisa menawarkan kehidupan yang bisa ia berikan. Sementara ayahku membencimu setengah-mati dan ibuku sudah bertahun-tahun sakit. Kami tak punya apa-apa lagi untuk dijual demi mencukupi biaya pengobatannya. “Ahai,” katamu, “kau akan tinggal di Liverpool. Kota yang indah. Kau akan bahagia. Pergi ke Liverpool adalah impianku.” Kamu tersenyum saat itu, dan berjanji akan datang mengunjungiku. Sebelum kita berpisah, kamu memelukku. Aku menciummu, pertama di kening lalu di bibir.Rasanyatak ingin melepaskanmu. * Seandainya kau datang ke Liverpool, aku akan mengajakmu menyusuri Sungai Mersey dan rel-rel kereta. Masihkah kau tergila-gila pada kereta dan segala hal yang berhubungan dengan kereta? Jika ya, aku akan membawamu pada satu sudut rel kereta, tak jauh dari Stasiun Liverpool Lime Street. Aku akan menceritakan semuanya padamu. Aku akan menceritakan bagaimana akhirnya polisi menemukan anakku di lintasan rel kereta itu. Bagaimana mereka menangkap kedua anak berumur sepuluh tahun yang telah memukuli dan menyeret anakku ke rel kereta, mengikatnya dan meninggalkannya begitu saja. Hingga kereta datang dan membelahnya menjadi dua. Aku akan menceritakan padamu bagaimana aku dan suamiku terjatuh dalam depresi yang dalam. Bagaimana kami menjadi saling menyalahkan dan membenci satu sama lain. Bagaimana suamiku menjadi pemabuk dan pemarah. Sementara aku mencoba melupakan kejadian yang menimpa anakku dengan menyuntikkan macam-macam obat-obatan di lenganku. Bagaimana aku kerap berhalusinasi dan bermimpi. Sering kali aku merasa kau dekat di sisiku.Kadang aku bermimpi tentang anakku. Di dalam mimpiku, ia menangis dan memanggil-manggilku. Pernah aku hanya mengkhayalkan toko daging itu. Konter-konter kaca yang berisi macam-macam daging, sosis, keju, mentega dan makanan siap saji: pai daging, sausage rolls dan pastri aneka isi. Aku lapar. Dan di luar sini dingin sekali. Seandainya kau datang ke Liverpool, singgahlah sebentar di Paradise Street. Kamu akan menemukan mereka. Biasanya mereka duduk di sudut-sudut jalan, meminta belas kasih dari orang-orang yang lewat. Mereka serupa hantu. Tak ada orang yang mampu atau mau melihat mereka. Tapi tidak semua, ada beberapa yang memaksamu untuk menoleh dan melihat mata mereka. Ada perempuan berambut hitam masai, berpakaian tebal kumal berbercak kotoran dan berbau tidak sedap, yang seolah tak pernah berhenti berbicara. Ia berbicara kuat-kuat dan tertawa tergelak-gelak. Kadang-kadang ia menangis juga. Jika kaupunya waktu untuk memperhatikannya, kau akan melihat bahwa ia sendirian, tidak punya satu pun teman bicara. Kamu merasa penasaran dan menghampiri, tidak terlalu dekat tapi cukup untuk mendengar apa yang dibicarakan perempuan itu. Kau bersandar pada dinding pertokoan dan berpura-pura sibuk dengan telepon genggammu. Tapi kau memasang telingamu. Kau terhentak. Ternyata perempuan itu berbicara padamu. Ia bertanya kapan kau akan datang ke Liverpool. Bukankah kau sudah berjanji akan datang mengunjunginya? Bukankah kau pernah bilangkalau ia tidak akan pernah berjalan sendirian? Perempuan itu merintih pedih, lalu tergelak meledak. Sedetik ia terdiam. Detik lain ia bernyanyi. At the end of a storm There’s a golden sky … Walk on through the wind Walk on through the rain … Sejak perpisahan kita dulu, aku berusaha melupakanmu. Tapi ada yang terus mengingatkanku padamu. Ia tumbuh dan membesar. Ia menangis dan tertawa. Jika kau berjumpa dengannya, kau boleh menerka, ia lebih menyerupai siapa, aku atau suamiku. Atau mungkin, ia lebih mirip denganmu? Tanpa sadar kau menangis. Kau jatuh terduduk di sisi perempuan gelandangan itu. Kau menatap matanya yang hitam pekat. Kau mengenalnya. Beberapa tahun yang lalu.
Lancaster, Februari 2019
Sumber: