Tangkapan Nelayan Anjlok, Buntut Eksploitasi Pasir Krakatau

Tangkapan Nelayan Anjlok, Buntut Eksploitasi Pasir Krakatau

Dugaan penambangan pasir besi yang terjadi di sekitar Pulau Sebesi dan Gunung Anak Krakatau (GAK) belakangan ini kian menjadi ‘buah bibir’ di sejumlah kalangan masyarakat. Kalangan akademisi mendorong pemerintah untuk meninjau ulang mengenai kelengkapan dokumen perizinan yang telah dikantongi oleh perusahaan sebagai pelaku eksploitasi sumber daya alam (SDA).   LAPORAN IDHO MAI SAPUTRA, KALIANDA                     Aktifitas kapal tongkang yang terlihat dari daratan pesisir Kecamatan Rajabasa menjadi sorotan warga, belakangan ini. Sebab, posisi kapal tongkang yang berada di sekitaran Pulau Sebesi dan GAK terindikasi melakukan penambangan pasir besi.           Peristiwa itu semakin viral di media sosial (medsos). Bahkan, sejumlah kalangan memastikan jika terjadi aktifitas penyedotan pasir besi di sekitaran GAK.           Sehingga, muncul pemberitaan disejumlah media yang menyuarakan penolakan oleh warga sekitar. Tramua akan bencana tsunami akibat dampak eksploitasi pasir besi menjadi alasan tepat terkait hal itu.           Ironisnya, PT. Lautan Indonesia Persada (LIP) yang diketahui belakangan sebagai perusahaan yang melakukan eksploitasi telah mengantongi dokumen perizinan sejak tahun 2015 silam. Tentu saja, hal ini sangat berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi di lapangan.           Karena dalam alur penerbitan sebuah dokumen perizinan, semestinya yang terdahulu adalah mendapatkan izin dari lingkungan sekitar. Penolakan yang diserukan warga sekitar semakin meyakinkan publik jika dalam hal pengurusan izin dilakukan dari tingkat atas.           Sebagai salah satu kalangan akademisi di Kabupaten Khagom Mufakat ini, Ketua STIH Muhammadiyah Kalianda Subagio, SH tidak menampik adanya kegaduhan di medsos mengenai peristiwa ini. Dia mengharap, pemegang kebijakan bisa melakukan peninjauan ulang terkait dokumen perizinan eksploitasi SDA yang terjadi di kawasan perairan pesisir Lamsel.           Sebab menurutnya, jika dokumen perizinan dibuat sesuai alur dan ketentuan hukum yang berlaku maka sangat mustahil adanya penolakan dari masyarakat sekitar yang paling rentan terdampak eksploitasi. Bahkan, peristiwa bencana tsunami yang masih meninggalkan tramua warga pesisir Lampung Selatan, terindikasi akibat aktifitas penyedotan pasir besi dilokasi yang sama beberapa tahun silam.           “Perlu dilakukan peninjauan ulang soal dokumen izin yang dipegang si perusahaan. Karena, tidak mungkin masyarakat menolak kalau alur pengurusan izinnya benar. Tentu saja dari segi hukum sangat menyalahi aturan,” ungkap Subagio saat berbincang dengan Radar Lamsel, Minggu (1/9) kemarin.           Dia melanjutkan, dalam hal ini salah satu dokumen perizinan yang wajib dikantongi perusahaan adalah analisa dampak lingkungan (AMDAL) dari satker terkait. Tentu saja, AMDAL yang diterbitkan harus benar-benar harus berdasarkan kajian-kajian yang komperehensip.           “Karena yang paling dekat akan dampak dari eksploitasi alam ya masyarakat sekitar. Jadi, jangan main-main dalam melakukan kajian-kajian sebagai dasar penerbitan AMDAL. Apalagi, dugaan kuat terjadinya bencana tsunami kemarin akibat aktifitas penyedotan pasir Krakatau beberapa tahun lalu. Karena, mengikis bagian bawah gunung sehingga bagian atasnya ambrol dan terjadi ombak pasang,” tutupnya.           Terjadinya dampak negatif lingkungan sekitar penambangan ternyata sudah dirasakan oleh para nelayan dalam kurun waktu beberapa pekan terakhir. Keruhnya kondisi air laut akibat aktifitas penyedotan pasir yang merusak dasar laut membuat para nelayan minim tangkapan ikan.           Kondisi tersebut dibenarkan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Selatan. Keluhan para nelayan yang biasa mencari ikan disekitaran Pulau Sebesi dan GAK telah ditampung dan segera diteruskan ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung.           “Keterbatasan wewenang menjadi kendala kami untuk melakukan tindakan tegas. Namun, beberapa keluhan masyarakat nelayan menjadi dasar dan bahan laporan kami ke Provinsi. Karena, aktifitas penambangan pasir besi ini berdampak pada hasil tangkapan nelayan. Rumpon ikan dikabarkan rusak dan sangat sulit memperoleh tangkapan di sekitar pulau itu,” tegas Kepala Dinas Perikanan Lamsel Dr. Meizar Malanesia melalui sambungan telepon, kemarin.           Terpisah, Kepala Bidang Perizinan DPMPTSP Lamsel Pramudya Wardana mengaku tidak tahu-menahu soal dugaan penambangan pasir besi di sekitar Pulau Sebesi dan GAK. Terlebih, dia baru menjabat sebagai Kepala Bidang Perizinan pada tahun 2018, lalu.           “Kalau satu tahun belakangan ini selama saya menjabat tidak ada rekomendasi untuk penambangan pasir besi di dasar laut. Pada awal 2018 dulu rekomendasi izin penambangan yang kami keluarkan hanya sebatas penambangan batu andesit,” ungkap Pramudya via telepon, kemarin.           Dia menerangkan, dalam hal penerbitan dokumen perizinan,s sebelum memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral bukan logam atau batuan, Gubernur harus mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari Bupati/Walikota. “Jadi, alurnya harus ada SIUP/TDP dari daerah yang menjadi obyek penambangan. Kalau semasa saya belum pernah menerbitkan ini,” terangnya.           Sementara itu, Kepala BAPPEDA Wahidin Amin dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Rini Ariasih kompak menjawab tidak mengetahui persis soal peristiwa penambangan pasir besi tersebut. “Kami tidak tahu apa-apa soal penambangan pasir itu, Malah taunya setelah baca di media,” pungkas dua pejabat yang dikonfirmasi via pesan whatshapp, kemarin. (*)

Sumber: