Walhi Sebut 5 Tahun Jadi Gubernur Isu Lingkungan Hidup Tidak Selesai Oleh Gubernur Arinal Djunaidi

Walhi Sebut 5 Tahun Jadi Gubernur Isu Lingkungan Hidup Tidak Selesai Oleh Gubernur Arinal Djunaidi

Foto : Istimewa ---

RADARLAMSEL.DISWAY.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia  (WALHI) Lampung menilai Isu Lingkungan Hidup dan Kepentingan Masyarakat kecil belum menjadi prioritas dalam masa kepemimpinan Arinal Djunaidi selama 5 tahun masa jabatan Gubernur Lampung, maraknya permasalahan lingkungan yang muncul, kepentingan masyarakat kecil (petani dan nelayan) yang terabaikan, konflik agraria yang merajalela tanpa adanya penyelesaian, kebijakan yang tidak pro masyarakat dan keberlanjutan lingkungan, pembangunan yang serampangan, obral izin dan program yang merampas hak rakyat, penegakan penjahat lingkungan yang lemah hal ini akan membawa lampung semakin terpuruk dan menuju kemiskinan serta lampung yang akan gagal dalam beradaptasi terhadap kondisi krisis iklim global.

Irfan Tri Musri (Direktur) menyampaiakan bahwa selama periodesasi kepmimpinan Gubernur Arinal Persoalan Lingkungan Hidup tidak Pernah mencapai pada penyelesaian yang serius.

Yang terbaru ialah di sisa penghujung masa jabatannya, Gubernur Arinal belum mencabut Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu yang telah diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 yang telah dinyatakan melanggar peraturan diatasnya oleh Mahkamah Konstitusi.

Lahirnya peraturan gubernur yang telah berjalan lebih kurang 4 tahun tersebut jelas telah menguntungkan korporasi perkebunan tebu yang ada di Provinsi Lampung serta telah mengabaikan hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Terbitnya Peraturan Gubernur tersebut merupakan karpet merah bagi korporasi untuk melakukan pengabaian terhadap hak atas lingkungan hidup dan hak masyarakat yang dapat dilakukan oleh korporasi perkebunan tebu secara legal dan tentunya ini sangat merugikan masyarakat yang terganggu akibat asap yang muncul dari aktivitas pemabakaran serta adanya debu yang masuk hingga wilayah pemukiman masyarakat serta pemanenan dengan cara membakar ini juga tentunya akan menambah polusi dan sebaran emisi di Indonesia khususnya Provinsi Lampung.

 Arinal sebagai Kepala Pemerintahan Provinsi Lampung seharusnya memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memberikan rekomendasi aturan yang mendukung hidup dan sumber-sumber penghidupan Masyarakat Provinsi Lampung ke Pemerintah Indonesia mengedepankan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan prinsip kehati-hatian Bukan justru melindungi para korporasi di Provinsi Lampung yang terus menggerus sumber daya yang ada.

Persoalan lainnya yang masih terjadi di Provinsi Lampung ialah sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan slogan yang selama ini digaungkan dalam kepemimpinan Gubernur Arinal yaitu “Petani Berjaya”.

Petani berjaya yang selalu digadang-gadang melindungi petani serta memberikan kemudahan akses terhadap petani justru kontradiksi dengan apa yang terjadi di lapangan. eksistensi petani lampung terancam karena sulitnya mengakses pupuk subsidi, kenaikan harga bibit dan obat-obatan, serta harga jual hasil pertanian yang sangat murah, ketersediaan ruang atau lahan pertanian.

Petani tidak memiliki posisi tawar yang jelas atas hasil tani yang mereka produksi akibat banyaknya tengkulak serta belum ada aturan atau regulasi yang mengatur hal tersebut. Akibatnya, tidak ada kepastian pasar produk pertanian dengan harga yang menguntungkan para petani.

Petani terpaksa mengikuti aturan main para tengkulak yang sewenang-wenang mengatur harga jual dan beli hasil pertanian, sebab jika tidak, maka para petani tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Program pemerintah yang tidak berpihak, Salah satunya ialah proyek pembangunan Kota Baru di mana petani kota baru terancam kehilangan mata pencaharian menyebabkan tergusurnya petani dari lahan garapan mereka yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian utama dan identitasnya.

Dampaknya juga meluas ke aspek sosial, karena banyak petani yang kehilangan akses lahan garapan yang sudah berlangsung secara turun temurun, serta terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek pembangunan tersebut.

Penggusuran lahan garapan petani untuk pembangunan Kota Baru menyoroti ketidaksetaraan dalam distribusi tata kuasa dan tata kelola pertanian yang buruk di Provinsi Lampung. Meskipun pertanian telah menjadi tulang punggung ekonomi lokal, petani sering kali tidak memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang cukup untuk melawan kepentingan pembangunan yang lebih besar.

Dalam hal ini, petani menjadi pihak yang rentan dan mudah diabaikan dalam proses pengambilan keputusan pembangunan.

Sumber: