10 Warga Pasang Badan, Minta Keadilan UGR JTTS

CANDIPURO – Sepuluh orang warga Dusun V, Desa Batulimanindah, Kecamatan Candipuro pasang badan. Mereka siap mempertahankan lahan bermodalkan sertifikat tanah dan seporadik dari gusuran tol, sebelum menemui kecocokan Uang Ganti Rugi (UGR). Dari total 65 bidang yang masuk dalam skema pembangunan mega proyek JTTS, menyisakan 10 bidang lagi yang belum menerima UGR dari PUPR. Pemilik lahan, menolak disebut penghambat pembangunan lantaran memiliki dokumen kepemilikan tanah. Suryadi (45) salah satunya. Warga Dusun V itu tak habis pikir dengan nominal ganti rugi Rp 48 juta yang ditawarkan terhadap lahan tanam tumbuh miliknya. Ia menyatakan keberatan dan memilih tidak menandatangani perjanjian apapun sebelum nominal yang disodorkan dirasa pantas. “ Kami yang tinggal sepuluh orang hanya minta keadilan. Sebab kami marasa benar dengan modal sertifikat BPN dan seporadik dari desa, ” kata Suryadi saat ditemui dikediamannya, Senin 97/5) kemarin. Ia sadar, wong cilik sepertinya tak akan mampu melawan pemerintah. Maka ditegaskan, ia beserta warga lainnya yang belum menerima UGR tidak akan melawan. Namun akan berusaha mempertahankan yang diyakini sebagai hak mereka. “ Kalau disebut penghambat pembangunan kami tidak menghambat. Dalam pandangan kami yang dikatakan penghambat itu ketika pemilik lahan sudah menerima UGR tapi justru menghalangi eksekusi lahan. Sementara kami kan belum menerima uang sepeser pun masa dibilang penghambat,” sebut Suryadi. Hal senada disuarakan Martaji (42), ia mengamini bahwa lahan dibelakang rumahnya masuk dalam wacana penggusuran. Namun hal itu belum dilaksanakan lantaran ia menolak, bahkan disekitar lahan miliknya dipasangi plang bertuliskan ‘Sabar Belum Dibayar’. “ Sama denga pak Suryadi, saya juga punya kearsipan lengkap. Janggalnya, dari puluhan warga lain hanya kami saja yang ditawarkan UGR dengan nominal yang tidak pantas,” ucapnya. Pria yang kesehariannya bertani itu melanjutkan, perjuangannya untuk mendapat ganti rugi yang layak masih belum berakhir. Ia pun mengklaim eksekusi yang dilakukan belum lama ini didesanya dianggap keliru. “ Kelirunya begini, ketika datang tim eksekusi kami berfikir yang dieksekusi ini hanya yang sudah menerima UGR saja. Tetapi makin keseini kok lahan kami juga mau dieksekusi? Padahal kan belum dibayar,” ujar Martaji. Selain dua orang tersebut, masih ada delapan orang lain yang bernasib sama diantaranya, Suratman (43), Nuridho (39), Sutam (50) Qolatif (52), Karis (51), Bejo (47), Nursalim (49) dan Hari Musilah (53). Semuanya satu suara untuk tak melawan pemerintah, namun mereka mangaku sebelum ganti rugi sepantasnya diterima. Mereka akan tetap bertahan meskipun digilas. “ Kami tetap bertahan mas, untuk mencairkan UGR kami rela ngutang sana sini. Ketika keluar nominal banyak yang janggal, masa lahan saya disebut lahan kosong padahal banyak tanaman sawit,” sebut Suryadi. Surydi dan Martaji bertahan dengan kearsipan lengkap, delapan orang lainnya diketahui hanya berpegang pada seporadik tanpa sertifikat tanah. Namun penduduk wilayah yang digadang-gadang masuk kawasan register itu sudah banyak yang menerima UGR yang layak. Terpisah, Anggota Komisi A DPRD Lamsel Syaiful Anwar mengatakan keadilan semestinya tak pandang bulu. Sepuluh orang warga itu dinilai layak mendapatkan hak-nya. “ Disini keadilan itu disorot, mereka yang umumnya petani hanya berusaha mempertahankan hak meraka. Bukan untuk melakukan perlawana, jangan sampai mereka diintimidasi karena berusaha mempertahankan hak,” ujar Syaiful. Politisi dari Fraksi Gerindra itu menilai, keabsahan surat tanah yang dimiliki warga sudah jelas. Yang jadi persoalan adalah untuk apa BPN mengeluarkan sertifikat tanah?. “ Artinya BPN mesti ambil sikap dalam menyelesaikan persoalan semacam ini. Perlu dipertanyakan kekuatan sertifikat tanah yang dimiliki warga kok bisa, ganti ruginya belum pantas,” tandasnya. (ver)
Sumber: