Warga Jatimulyo Gugat Ganti Rugi JTTS
KALIANDA – Persoalan ganti rugi lahan untuk proyek nasional Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) masih terus terjadi di wilayah Lampung Selatan. Diantaranya di wilayah Desa Jatimulyo, Kecamatan Jatiagung yang saat ini proses gugatannya terus berlangsung dalam persidangan kasus perdata di Pengadilan Negeri (PN) Kelas II Kalianda, Senin (14/8) kemarin. Setidaknya, 11 masyarakat sebagai penggugat yang tidak terima atas nilai besaran ganti rugi lahan jalan tol ini menguasakan hukum persoalan ini kepada LBH-Nasional yakni Sopian Sitepu, SH, MH dan Partner. Dalam sidang ke IV dengan agenda mendengarkan saksi, pihak penggugat menghadirkan saksi ahli dari Universitas Lampung Dr. FX Sumarja, SH, M.Hum untuk menganalisa persoalan tersebut. Dalam keterangannya, Sumarja menjelaskan, jika proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur dalam undang-undang (UU). Hal itu dimaksudkan agar masyarakat sebagai pemilik lahan yang akan dibebaskan bisa lebih sejahtera dengan adanya pembebasan lahan tersebut. “Artinya, jika merugikan masyarakat ini sangat salah besar. Karena, pada prinsipnya dalam UU tersebut harus ada musyawarah mufakat dalam penentuan nilai tanah yang dibebaskan,”terang Sumarja. Dia menambahkan, terdapat kemungkinan beberapa kelemahan yang dilakukan oleh tim appresial selaku panitia penilai ganti rugi lahan. Salah satunya, dalam melakukan inventarisasi dan identifikasi atas tanah yang akan dibebaskan untuk proyek nasional. “Tim appresial seharusnya mengumumkan wilayah yang akan terkena proyek tersebut. Setelah itu, mencari informasi nilai jual atau pasaran harga tanah di wilayah tersebut. Lalu, masyarakat yang bersangkutan dikumpulkan untuk mengetahui harga tanah yang sebenarnya,”imbuhnya. Selain itu, Standart Operasional (SOP) juga sering ditinggalkan oleh tim appresial dalam menentukan hal tersebut. Sebab, terdapat beberapa variable penting dalam menentukan nilai atau harga suatu bidang tanah meskipun lokasinya berjejeran. “Maka saya katakan tadi tidak bisa hanya mengambil sample satu atau dua masyarakat saja. Karena, kondisi tanah mempengaruhi nilai jual ganti rugi. Seperti halnya, tanah pertanian, rumah tinggal atau rumah tinggal yang ada usahanya akan berbeda-beda nilainya,”terangnya. Dalam sidang yang dipimpin hakim ketua Mashuri Effendi, SH, MH ini juga menghadirkan satu saksi Ridwan dari penggugat sebagai korban. Dia mengaku kecewa atas keputusan tim panitia ganti rugi jalan tol karena menurunkan nilai ganti rugi pada bangunan atau tempat usahanya. Karena, dalam waktu penilaian bangunan tempat usahanya dihargai senilai Rp148 juta. Namun, pada pembayaran ganti rugi hanya dinilai sebesar Rp26 juta dengan alasan bangunannya tidak permanen. “Memang saya hanya memiliki bangunan untuk rumah tinggal dan usaha. Karena, tanah saya sewa tahunan. Awalnya saya sepakat karena akan diganti rugi sebesar Rp148 juta, tetapi pada akhirnya hanya dihargai Rp26 juta makanya saya menolak. Karena bangunan saya nilainya lebih dari itu. Saya juga terkejut kenapa bisa nilainya turun. Alasan panitia bangunan saya semi permanen,”terang warga Jatimulyo ini dalam persidangan. Selain itu, penggugat juga menghadirkan seorang saksi lain yang juga memperoleh ganti rugi JTTS di desa yang sama. Dia adalah A. Bastian yang menerima hasil ganti rugi dengan nilai Rp155 juta dengan luas lahan pekarangan 300 meter persegi. Nilai ganti rugi yang diterima A. Bastian sangat wajar karena lokasinya lebih ke dalam dibandingkan para penggugat yang berada tepat di pinggir jalan provinsi. “Kalau tanah saya yang terkena pembangunan JTTS lokasinya masuk ke dalam sekitar 1 kilometer dari jalan besar. Yang saya tahu, pasaran harga tanah di pinggir jalan itu harganya mencapai Rp2jutaan lebih per meter. Karena, tahun 2015 lalu saya pernah menjual tanah di lokasi para penggugat harganya Rp2juta per meter,”terang Bastian sambil menunjukan bukti kwitansi jual beli tanah. Setelah itu, sidang ditunda pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari pihak tergugat yang dalam hal ini adalah pemerintah RI c.q. Kementeria Agraria dan Tata Ruang/BPN, c.q. Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/BPN Lampung c.q. Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/BPN Lamsel selaku tergugat I. Ketua panitia pengadaan tanah JTTS Kabupaten Lamsel sebagai tergugat II, Gubernur Lampung selaku tergugat III dan penilai publik Toto Suharto dan Rekan selaku tergugat IV. Informasi yang dihimpun Radar Lamsel dari para warga selaku penggugat, mereka tidak puas atas hasil penilaian ganti rugi JTSS dari panitia. Sebab, keberadaan tanah mereka letaknya strategis dan dipinggir jalan provinsi. Namun, nilai ganti ruginya lebih kecil dibandingkan desa tetangga yang letaknya jauh dari jalan provinsi. Seperti yang dikatakan Ozi warga Jatimulyo yang tanahnya terkena gusur pembangunan JTTS seluas 600 meter persegi. Dirinya hanya memperoleh ganti rugi lahan sebesar Rp1.040.000 per meter. Padahal, lokasi tanah tersebut termasuk bangunan rumah tinggal dan lokasinya berada di pinggir jalan provinsi. “Makanya kami menggugat karena ingin keadilan. Seperti apa tim appresial ini melakukan penilaian atas ganti rugi lahan jalan tol. Karena, tetangga desa saya yang letaknya jauh dari akses jalan provinsi saja bisa memperoleh ganti rugi senilai Rp1.500.000 per meter. Kalau dilihat kebelakang, nilai jual tanah di tempat kami tinggal itu senilai Rp2 jutaan per meter. Itupun tahun 2015 yang lalu,”tegas Ozi. Dia berharap pemerintah jeli dalam menentukan nilai ganti rugi lahan untuk proyek nasional tersebut. “Kalau seperti ini namanya tidak adil. Toh kami selama ini belum pernah melihat tim appresial turun mengecek lokasi. Apakah mereka bekerja hanya berdasarkan data. Itu kan artinya melanggar undang-undang. Tidak seperti yang dipaparkan oleh saksi ahli tadi,”cetusnya. Hal senada disampaikan Sutarto yang memang masih bertetangga dengan Ozi dan 10 penggugat lainnya. Tanah miliknya jika dihitung hanya dihargai Rp310 ribu per meter. Padahal, lokasinya juga berada di pinggir jalan provinsi. “Katanya dengan pembangunan bisa mensejahterakan masyarakat. Kalau seperti ini namanya sangat merugikan kami sebagai masyarakat. Sebenarnya ini yang salah dari tim panitia penilai atau dari tim kabupaten yang salah menyampaikan data ke atas,”pungkasnya. (idh)
Sumber: