Tersangka karena Membela Rakyat
Masyarakat Cium Aroma Kriminalisasi,Ancam Turun ke Jalan jika Kades Ditahan
KALIANDA – Sense of crisis (prihatin’red). Begitulah gambaran nasib Kepala Desa (Kades) Tarahan, Kecamatan Katibung Junaidi. Sebab, niatnya yang ingin mengentaskan persoalan masyarakat desa malah berujung status tersangka yang ditetapkan Polda Lampung. Ya, Kades Tarahan Junaidi ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus pengrusakan aset PT. Tanjung Selaki yang berada di Dusun Sebalang, Desa Tarahan, Kecamatan Katibung. Penetapan ini dilakukan setelah adanya laporan Bahrudin yang mengatasnamakan PT. Tanjung Selaki ke Mapolda Lampung sekitar Juni 2017 lalu. Laporan itu terkait pengrusakan aset berupa gorong-gorong di Dusun Sebalang. Padahal pembongkaran gorong-gorong yang belakangan diklaim adalah milik PT. Tanjung Selaki itu dilakukan untuk mengantisipasi bencana banjir yang kerap melanda masyarakat Dusun Sebalang selama dua puluh tahun lebih. Karena penetapan status tersangka ini, masyarakat Desa Tarahan bereaksi. Mereka mengecam keras penetapan tersangka yang dinilai tak memiliki dasar hukum yang jelas. “Terus terang kami mencium adanya aroma kriminalisasi dalam persoalan ini. Kalau sampai pemimpin desa kami ditahan gara-gara ini, kami akan turun ke jalan,” ungkap Tokoh Adat Desa Tarahan A. Hasan Wahab gelar Batin Bandar saat mengadu di Kantor APDESI Lampung Selatan di Jalinsum Kalianda, kemarin. Sejumlah masyarakat memang mengadukan persoalan itu kepada Tim Advokasi APDESI Lamsel. Mereka diterima Ketua APDESI Lamsel Mastur MS dan tim advokasi APDESI yang juga Ketua DPC KAI Lamsel Syaifullah Musa, S.H dan sekretarisnya Ruhenry, SH.I. Kades Tarahan Junaidi juga hadir dalam pertemuan itu. Bahkan dia mengaku tak tahu jika dirinya diperkarakan secara hukum karena telah membongkar gorong-gorong yang selama ini menjadi pemicu banjir diwilayah pengabdiannya. Yang dia tahu saat ini dirinya sudah ditetapkan tersangka oleh Polda Lampung dan berkas perkaranya sudah dinyatakan lengkap (P21). Penetapan ini dilakukan setelah dirinya dua kali dipanggil penyidik Polda Lampung. Dia lantas menceritakan, pembongkaran itu dilakukan sekitar tahun 2015 lalu. Pembongkaran juga dilakukan lantaran Desa Tarahan khususnya di Dusun Sebalang mendapatkan program normalisasi sungai dari Pemkab Lamsel pada APBD 2015. Saat itu, kata Junaidi, pihaknya bersama masyarakat menggelar rapat untuk memuluskan program normalisasi sungai untuk mengantisipai banjir yang sudah dua puluhan tahun melanda wilayah setempat karena adanya penyempitan aliran sungai pada posisi gorong-gorong yang memotong jalan. “Sebelum program ini bergulir kami sudah melayangkan surat kepada PT. Tanjung Selaki untuk meminta izin untuk membongkar gorong-gorong. Tetapi dibalas dengan surat dari mereka (PT. Tanjung Selaki) yang bunyinya, mereka akan memperbaiki dengan membangun gorong-gorong tersebut menjadi jembatan demi melancarkan program normalisasi sungai. Namun dua bulan setelah itu tak juga ada pembangunan. Pernyataan ini mereka buat sekitar September 2014,” ungkap Junaidi. Dua bulan setelah pernyataan itu, gorong-gorong tak juga dibangun jembatan sesuai janji PT. Tanjungselaki. Akhirnya Pemerintah Desa mengambil kesimpulan untuk membongkar gorong-gorong untuk memperlancar proses normalisasi sungai yang bergulir pada 2015. “Pembongkaran inilah yang menjadi penyebabnya. Terus terang saya ini tak tahu hukum. Yang menjadi dasar saya membongkar adalah bagaimana masyarakat desa yang sudah puluhan tahun dilanda banjir tidak lagi mengalaminya. Lagipula tanah itu kan bukan milik PT. Tanjungselaki. Apakah saat membangun itu mereka izin kepada masyarakat?,”tanya Junaidi. Sebelum dibawa keranah hukum, kata Junaidi, pembongkaran yang dilakukan Pemerintah Desa itu memang menuai masalah. Penyelesaikan masalah itu diselesaikan ditingkat Uspika Katibung dengan pihak PT. Tanjungselaki dan pemerintah desa. Dalam penyelesaian itu ada beberapa hal yang disepakati antara lain PT. Tanjungselaki akan segera mengganti gorong-gorong dengan membangun jembatan yang permanen sesuai dengan keinginan masyarakat untuk mencegah banjir. Lalu, gorong-gorong yang sudah dibongkar sementara dipasang kembali untuk akses jalan kendaraan. “Saya tidak tahu kalau masalah ini masih berlanjut setelah kesepakatan itu. Yang jelas normalisasi sungai hanya berjalan sampai di gorong-gorong saja. Tetapi jembatan tak juga dibangun sampai saat ini,” ungkap Junaidi. Sementara itu, status kepemilikan tanah yang sebagian kini menjadi jalan yang melintas di Dusun Sebalang hingga ke lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sebalang itu memang menjadi polemik. Belakangan masyarakat mengklaim tanah itu merupakan tanah warga yang diklaim milik PT. Tanjungselaki, begitu pula sebaliknya. Namun polemik ini sedikit diperjelas dengan terbitnya surat dari BPN Provinsi Lampung yang menyampaikan surat pemberitahuan tentang sengketa tanah di Desa Tarahan antara PT. Tanjungselaki dan masyarakat setempat pada Oktober 2016. Dalam surat itu disimpulkan bahwa tanah masyarakat desa tidak tumpang tindih/overlaping dengan areal hak guna bangunan (HGB) PT. Tanjungselaki No. 64,65 dan 66. “Artinya yang selama ini diklaim oleh mereka adalah bukan milik mereka,” ungkap Usman Bauw salah seorang advokat. Usman Bauw mengungkapkan, polemik kepemilikan tanah itu sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Bahkan, pihaknya telah membawa persoalan itu ke DPRD Lampung untuk dibahas. “Hasilnya ada kejelasan status. Yaitu kepemilikan lahan ini bukan milik PT. Tanjungselaki. Status ini diperkuat oleh surat yang dikeluarkan BPN terkait persoalan itu,” ungkap dia. Surat yang diterbitkan BPN tersebut, kata Usman, juga memperkuat pencabutan SK HGB atas nama PT. Tanjungselaki yang diterbitkan pada tahun 1994 lalu. Pencabutan itu dilakukan lantaran PT. Tanjungselaki yang mendapatkan SK HGB sejak 1990 tak dapat mengelola lahan seluas 1.250 hektar (ha) sebagaimana peruntukan HGB diberikan. “Silahkan dicek saja. Apakah ada bangunan-bangunan yang dibangun oleh PT. Tanjungselaki diareal itu. Katanya kan mau dibangun kawasan wisata dan real estate. Sampai saat ini kan tidak ada. Tapi anehnya meski SK-nya sudah dicabut, mereka masih menduduki lahan itu untuk kepentingan yang tak sesuai dengan SK HGB sejak dicabut pada tahun 1994,” beber Usman. Ketua Tim Advokasi APDESI Lamsel Syafullah Musa sendiri kaget dan terkejut mengenai persoalan itu. Sebab, jika melihat fakta yang ada, PT. Tanjungselaki tidak memiliki dasar-dasar kepemilihan tanah yang jelas sesuai dengan klaimnya yang mengantongi izin HGB selama ini. Apalagi ketidaksesuaian alas hak atas HGB itu sampai melampaui kewenangan yang memperkarakan Kades Tarahan Junaidi keranah hukum. “Yang jelas kami akan mengadvokasi persoalan ini. Sebab, ini menjadi tugas dan kewajiban kami dalam memberikan pendampingan terhadap setiap kepala desa. Saya juga kaget, kok bisa bukan tanah milik mereka memperkarakan kades yang niatnya tulus membantu masyarakat,” ungkap Syaifullah Musa. Ketua DPC KAI Lamsel ini juga mengungkapkan akan mengumpulkan bukti-bukti yang kuat dalam membela Kades Tarahan Junaidi yang kasusnya ‘berbau’ kriminalisasi tersebut. “Kita akan siapkan. Soal pajak-pajak juga akan kita cek,” ungkap Syaifullah Musa. Dugaan kriminalisasi dalam persoalan itu memang menguat. Sebab, sebelumnya Zakaria salah seorang warga setempat yang juga dilaporkan ke Polda Lampung atas tuduhan pemerasan. Padahal Zakaria berjuang mempertahankan tanahnya yang ia hasilkan dari jual beli. “Saya pernah diancam habis-habisan karena mempertahankan tanah saya. Sekarang ini kasus yang melibatkan saya sudah tidak lagi bergulir,” ungkap Zakaria yang juga turut hadir kemarin. Sayangnya Kabid Humas Polda Lampung Kombes Pol. Sulistianingsih belum bisa memberikan keterangan yang banyak seputar persoalan penyidikan dugaan kasus pengrusakan dan status tersangka Kades Tarahan Junaidi. Dikonfirmasi Radar Lamsel, Sulistianingsih mengaku belum mendapatkan laporan mengenai persoalan itu. “Belum ada laporan,” begitu pesan SMS Sulistianingsih tadi malam. (red/edw)Sumber: